Rabu, 08 Desember 2010


Mengenang Humor Gus Dur



Judul : Fatwa dan Canda Gus Dur
Penulis : KH Maman Imanulhaq Faqieh
Penerbit : Kompas, Jakarta
Cetakan : I, Februari 2010
Tebal : xiv+234 hlm
Gus Dur memang sosok fenomenal. Seluruh hidupnya diabdikan dan didedikasikan bagi kepentingan kemanusiaan dan kebangsaan, juga keumatan tentu saja. Selain sebagai Kyai, ia adalah seorang intelektual, ilmuwan, dan aktivis kemanusiaan. Ia berjuang di medan pemikiran dan aktivitas sosial, membela kaum minoritas, melawan ketidakadilan, dan membumikan progresivitas Islam yang toleran dan inklusif.
Tidak hanya sosok fenomenal, Gus Dur juga sosok multidimensi yang unik. Gagasan-gagasan pemikirannya yang kritis dan mendalam ia ungkapkan dalam bahasa yang filosofis dan humoris, meski gagasan itu berkaitan dengan persoalan-persoalan besar yang dihadapi oleh bangsa ini. Ungkapan ‘gitu aja kok repot’ yang menjadi ciri khasnya oleh sebagian orang dianggap sebagai ungkapan untuk mengentengkan persoalan, padahal bukan itu sesungguhnya. Gus Dur ingin melihat persoalan yang ada secara rileks, karena dalam relaksasi itulah solusi yang tepat bisa muncul.
Buku berjudul Fatwa dan Canda Gus Dur yang ditulis oleh KH Maman Imanulhaq Faqieh ini mencoba menggambarkan pemikiran seorang Gus Dur dalam beberapa momen yang ia ikuti bersama Gus Dur. Lewat buku ini, sang penulis yang akrab dipanggil Kang Maman mencatat beberapa pemikiran Gus Dur yang filosofis dan mendalam atas berbagai fenomena kontemporer yang tengah terjadi di negeri ini. Yang menarik dari yang dicatat oleh sang penulis adalah, gagasan-gagasan itu Gus Dur sampaikan dengan bahasa yang ringan. Terkadang malah bernada humor, kelakar, dan banyolan.
Dalam sebuah acara makan siang di Keraton Kasepuhan Cirebon yang diikuti juga oleh Kang Maman, terjadi percakapan hangat antara Sultan Sepuh, Sultan Pangeran Raja Adipati Dr. H. Maulana Pakuningrat, SH, yang didampingi putra Mahkota, Sultan Pangeran Raja Adipati Arif Natadiningrat, SE. Ketika Sultan Sepuh mengutip nasihat Sunan Gunung Djati atau Syekh Syarif Hidayatullah, “Insun titip tajug lan fakir miskin”, Gus Dur menegaskan kembali posisi keraton sebagai pusat kebudayaan dan keagamaan. Menurut Gus Dur, ‘tajug’ dalam amanat Sunan Gunung Djati itu adalah tempat di mana masyarakat berinteraksi sosial tanpa membedakan asal-usul, strata sosial, pangkat dan jabatan.
“Di Cirebon tidak ada yang pasang pengumuman: maaf, shaf (jajaran/barisan) pertama untuk para Doktor (S-3), shaf kedua untuk para Master (S-2), jajaran paling belakang untuk para bakul tukang es; tidak ada pengumuman seperti itu kan Mas Arif?” tanya Gus Dur kepada PRA Arif Natadiningrat, SE, sang putra mahkota. ‘Tajug’ adalah masyarakat bermusyawarah mencari solusi bagi persoalan yang kompleks di tengah kehidupan mereka.
Itu sekelumit cerita Kyai Maman bersama Gus Dur. Menurutnya, banyak hal mencerahkan sekaligus mengibur selama ia bersama dengan Gus Dur. Kang Maman memang akrab dan dekat sekali dengan Gus Dur, khususnya sejak tahun 2006. Selama kurun waktu tiga tahun itu, banyak cerita dalam kehidupan Gus Dur yang luar biasa. Sering terbukti, dalam kebutaannya, Gus Dur mampu memandang lebih jauh dari apa-apa yang bisa kita lihat dan pahami. Sebagian orang menyebut Gus Dur seorang wali. Mungkin ini agak berlebihan, tetapi realitanya memang ia sosok istimewa, unik, dan kita memang perlu sosok-sosok seperti Gus Dur lebih banyak lagi.
Buku ini hanya berisi sekitar 24 catatan Kyai Maman dalam momentum bersama Gus Dur yang ia rasakan begitu menyentuh dan mencerahkan. Gus Dur memang bukan sosok manusia sempurna, dan memang tidak ada manusia yang sempurna. Tapi, Gus Dur telah membuktikan dirinya sebagai manusia yang berguna melalui pemikiran dan aktivitas sosialnya serta kepeduliannya terhadap sesama dan bangsanya, hingga detik kehidupan terakhirnya. Pemikiran yang dilontarkan secara menghibur, penuh banyolan, dan kelakar, sarat makna, tidak asal mbanyol.*