Sabtu, 29 Desember 2012

Sekularisme dalam sistem pendidikan

SEKULERISME DALAM SISTEM PENDIDIKAN    
Oleh Muhammad yusran
Kondisi Realitas
Apa itu sekulerisme? Menurut Muhammad Qutb ( ancaman sekulerisme,1986) diartikan sebagai, Iqomatu al-hayati 'ala ghoyri asasina mina al-dini( membangun struktur kehidupan di atas landasan selain sistem Islam). Dan An-Nabhani mengartikan, "Pemisahan agama dengan kehidupan, ide ini menjadi aqidah(asas), sekaligus qiyadah fikriyah (kepemimpinan ideologis) serta sebagai qaidah fikriyah ( landasan berfikir)"(lihat:Nizhamul Islam Al Quds,1953) atas dasar berfikir ini, mereka berpendapat bahwa manusia sendirilah yang berhak membuat peraturan hidupnya, dan sesuai dengan hawa nafsu serta akalnya yang sangat terbatas itu.
Sangat ironis. Jelas kondisi ini menimpa sistem pendidikan itu sendiri, dan hampir di semua negara bahkan negeri-negeri kaum muslimin terhadap dunia pendidikan mereka ketika ini, akibat dari apa yang disebut westoxciation ( Racun Pemikiran Barat) yakni: pluralisme, sinkretisme, nasionalisme, liberalisme, kapitalisme, sekulerisme dan seabrek isme lainnya dan mencoba untuk melakukan imitasi bahkan subtitusi secara total atau melakukan pemblasteran ( perkawinan ) antara Sistem Barat ( Sekuler-Liberal ) dengan Sistem Islam yang suci, fitrah dan mulia itu. Fenomena dunia pendidikan menjadi topik perbincangan yang menyentuh berbagai kalangan dari masyarakat jelata, para profesional, akademisi, cendekiawan sampai birokrat namun tidak berdaya menyatukan konsep dan realitas, justeru SDM semakin carut-marut dan porak-poranda yang memiliki karakteristik pola fikir dan pola sikap yang tidak Islami.
Para pengambil kebijakan itu tidak mampu memberdayakan masyarakat lewat pendidikan sehingga banyak terjadi pengangguran, tawuran, pencurian, pergaulan bebas dan setumpuk masalah sadisme lainnya. Setidaknya dua fenomena pendidikan yang dihadapi negara-negara di dunia ketika ini: pertama, secara mikro ( prasarana & SDM ), kedua secara makro (sistem pendidikan). Yusuf Kalla bertutur "KKN telah merasuki sendi-sendi kehidupan contoh pendidikan : uang bangku, uang bangunan, lewat jendela. Alangkah naifnya sistem pendidikan "Indonesia", yang mengemban misi luhur untuk mendidik dan membudayakan ilmu dan menanamkan moral ternyata langkah awalnya, sudah di ajarkan mata pelajaran KKN sebagai mata kuliah/pelajaran perdana serta arogansi intelektual mahasiswa yang tidak kunjung sadar dan insyaf dalam meramu kegiatan OSPEK yang tidak Islami itu, sehingga berada di luar nilai-nilai luhur kemanusiaan yang dijunjung tinggi oleh Islam.
Realitas ini sepatutnya membuat umat mengurut dada, dan prihatin bukankah pendidikan adalah sokoguru pembangunan dan keberhasilan suatu umat?, bila anak-anak dan para pemuda tidak mendapatkan pendidikan yang layak, dapat dibayangkan generasi macam apa yang muncul di masa datang. Pertanyaan muncul apakah Islam mampu memberikan solusi bagi dunia pendidikan. Jargon umum yang mashur di masyarakat adalah sosok mahasiswa/sarjana sebagai "Agen of Change", sehingga sistem pendidikan suatu masyarakat cukup beragam sesuai dengan karakteristik kultur dan norma yang mendasari kehidupan masyarakat tersebut.
Kadang kita bangga ketika menengok corak dan karakteristik pendidikan Barat dan Eropa yang unik [baca:sekuler] dan maju, tapi tidak bisa dikesampingkan kebobrokan moral dan etika yang menghancurkan pranata-pranata kehidupan sosial manusia yang agung dan fitrah dari asalnya, dan masyarakat yang bertumpu pada nilai-nilai materialistik semata-mata, hanya akan melahirkan generasi yang berfikir materi semata "Profit Oriented" dan mejadikan manusia Economy Animal (Binatang Ekonomi). Kebingungan lain yang sering timbul adalah bagaimana mengaitkan agama dan pendidikan umum secara wajar.
Bagaimana mempersandingkan dan menggandengkan pelajaran agama dengan eksakta?. Bagaimana madrasah harus menghadapi Teori Darwin dalam bidang Biologi. Semua itu jelas akan terjadi bila tsaqofah sekuleris menggerogoti sistem pendidikan. Anekdot yang menggelikan dan bodoh adalah bagaimana mencetak generasi "Berotak Jerman dan berhati Mekkah". Istilah-istilah ini mencoba menjelaskan Islam yang hanya mengaburkan bahkan menghilangkan esensi pemikiran Islam yang murni, agung dan mulia.
Kondisi Ideal
Secara jelas dan pasti Islam menjadikan tujuan (Goyah) pendidikan adalah melahirkan "Kepribadian Islam" dan membekali dengan pengetahuan yang berkaitan dengan kehidupan ( lihat: An-Nabhani. Nizhamul Islam, Al-Quds 1953), sehingga metode penyampaian pelajaran dirancang sedemikian rupa untuk menunjang tercapainya tujuan dan setiap metodologi yang tidak berorientasi pada tujuan tersebut dilarang [baca:haram]. Dengan demikian pendidikan Islam tidak hanya "Transfer of Knowledge", tanpa memperhatikan ilmu pengetahuan yang diberikan itu, apakah dapat menumbuhkan pola fikir dan tingkah laku yang Islami atau tidak. Olehnya itu harus selalu terikat dengan Ide tentang kehidupan dan nilai-nilai kehidupan Islam yang selalu berputar pada lingkaran peningkatan Iman.
Apabila terdapat tsaqofah yang jika diajarkan mengakibatkan penyelewengan, penyimpangan dan memperlemah aqidah, maka haram mempelajarinya, sampai efek negatifnya hilang (sesuai kaidah fiqih). Dikotomi ilmu pengetahuan dalam Islan tidak ada, tetapi justeru muncul dalam masyarakat Sekulerisme-Liberalisme. Generasi muslim yang intelek dibidangnya masing-masing sesuai dengan kenginan dan kebutuhannya, sekaligus sebagai seorang yang faqih fid Din ( memahami Islam) dan berkepribadian Islam. Tidak ada pemisahan ilmu agama dan dengan ilmu tentang kehidupan dan tidak dikenal rohaniawan atau birokrat, ilmu adalah milik Allah SWT dan kita semua wajib mengamalkan sesuai dengan syariat Islam.
Konsepsi ini terbukti dan rill pada masa pemerintahan Khilafah Islamiyah. Tatkala Eropa terbelenggu dan terpasung oleh kebodohan, kejumudan dan hal-hal yang berbau mistis, kaum Muslim telah menikmati kamajuan sains dan ilmu pengetahuan yang belum pernah dijumpai dalam sejarah kemanusian sebelumnya. Jadi dalam kondisi sekarang ini, harus ada perubahan mendasar yaitu : "Perubahan Paradigma Pendidikan" meliputi: kebijakan pendidikan, kurikulum, metode pengajaran. Dan "Perubahan Konsepsi Ilmu" atau dengan istilah science Islamitation (Gerakan Islamisasi).
Proses Islamisasi memiliki empat tingkat kepentingan yang inheren dan berkorelasi erat, yakni:
  1. kepentingan aqidah,
  2. kepentingan kemanusiaan,
  3. kepentingan peradaban,
  4. kepentingan ilmiah.
Islam memposisikan pendidikan pada hukum wajib, jadi menyianyiakan dan mengabaikan pendidikan setiap manusia adalah kemungkaran, jadi jelasnya kemungkaran ini banyak diabaikan. Islam telah memberikan solusi praktis, tepat dan jelas. Mewajibkan negara berperan penuh dan bertanggungjawab dalam menyelenggarakan pendidikan umat dalam memahami Tsaqofah Islamiyah dan kemaslahatan umum rakyatnya, termasuk non-muslim yang dilindungi haknya untuk hidup damai dan sejahtera, jadi jelas kewajiban diujudkannnya Negara Khilafah Islamiyah yang akan menghimpun warna-warni serta potensi kaum muslimin dan menyatukan Dunia Islam serta akan mengatur tatanan hidup kemanusiaan dengan adil, bijaksana dan tidak melanggar fitrah manusia yang suci dan luhur sebagaimana Barat membangun manusia dengan sekulerisme-liberalismenya. Dengan Sistem Islam menjadikan hidup ini diliputi keberkahan dan kedamaian. Bila kewajiban[baca:pendidikan ideal] ini hanya mungkin dengan ditegakkannya sistem politik dan pemerintahan Islam, maka tegaknya sistem [baca: Daulah khilafah Islamiyah] Itu wajib adanya, sebagaimana kaidah syara'
" ma la yatimmul wa jibu illa bihi fahuwa wajib", [ Bila suatu kewajiban kecuali adanya sesuatu maka sesuatu itu wajib adanya] Wallahu Mustaan. Wa maa tau fiiqii illaa billaah

Kamis, 13 Desember 2012

Membangun Moral di abad Global

Membangun Moral di abad Global       

"if religion without morality lacks a solid earth to walk on, morality without religion lacks a wide heaven to breath in".(Jika agama tanpa moralitas, kekurangan tanah untuk berjalan diatasnya, jika moralitas tanpa agama, kekurangan surga langit untuk bernafas).
Kata-kata Prof. John Oman yang di kutip oleh Dr. Faisal Ismail diatas mengajak kepada kita untuk menilik kembali terhadap pandangan kita yang selama ini kita pegang khususnya dalam hal memperbincangkan dalam kemajuan suatu bangsa.Kemajuan suatu bangsa tak hanya di ukur melalui patokan kemajuan teknologinya dan GNP nya semata tetapi juga harus dilihat kelakuan masyarakatnya seperti yang tertulis dalam syairnya Ahmad Syangu, "sesungguhnya ini suatu bangsa terletak pada akhlaknya, jika akhlak mereka bejat hancurlah bangsa itu".
Kemajuan terknologi di segala bidang memang telah mempermudah kerja manusia tetapi jika tak ada control, kemajuan teknologi malah menyeret masyarakatnya kedalam berbagai jebakan  krisis seperti krisis kejiwaan, krisis ekologi, krisis kejujuran dan masih banyak lagi. Dampaknya kini mulai muncul seperti kasus bunuh diri, membunuh bayi-bayi maupun gejala-gejala depresi berat yang menyelimuti masyarakat diabad global adalah tanda dari kehampaan jiwa masyaraka modern.
Di lain pihak, bahaya kerusakan alam semakin mengkuatirkan. Tanah longsor, banjir bandang, angin ribut, gempa bumi yang akhir-akhir ini marak terjadi di tanah air menambah "kengeluan" bangsa ini. Glogbal worming merupakan ancaman serius bagi segenap makhluk di muka bumi. Dalam kurun waktu seratus tahun terakhir suhu bumi akan meningkat 0.7 derajat celcius. Para ahli memprediksikan, jika tak ada upaya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, pada tahun 2100 suhu bumi akan meningkat hingga 0,8 derajat celcius. Padahal jika kenaikan suhu melebihi dua derajat celcius maka akan terjadi kepunahan banyak spesies dan ekosistem. Salah satu penyebab terjadi perubahan iklim global di Indonesia adalah kebakaran hutan dan lahan serta semakin rusaknya hutan akibat pembalakan liar.(Tempo, 30 april 2006)
Semua fenomena diatas semakin meyakinkan akan kebenaran firman Tuhan bahwa"Telah tampak kerusakan di dadarat dan di laut disebabkan oleh ulah tangan manusia"(Q.S ArRum:41).Kalu kita cermati seksama dari pengalaman hidup maupun kita kaji dari Al Qur'an bahwa kerusakan alam merupakan akibat kerakusan manusia yang tak arif dalam mengeksploitasi kekayan alam.Kerakusan adalah urusan moral yang tersimpan dalam sanubari masing-masing orang. Moral yang menjabat "chek and balance" telah mengalami kemerosotan yang menyebabkan penodaan terhadap harkat kemanusiaan (human dignity) sehingga pemiliknya terperosok sebagai budak penyembah nafsu.Walau kita tahu bahwa abad ini adalah abadnya orang-orang pintar tetapi kehidupanya jauh dari tanda-tanda orang berilmu. Mengapa demikian? Allah menjawabnya ,"Pernahkah engkau melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhanya. Allah memberi sesat dengan ilmumya dan Allah telah mengunci pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutup atas kepalanya itu. (Q.S AL Jatsiyah:23)
Sebab utama merosotnya moral adalah hilangnya keyakinan (iman) terhadap Tuhan, hari akhir dan balasan surga-neraka. Agama yang telah di berikan Tuhan sebagai pembimbing di tinggalkan begitu saja, sehingga norma-norma yang mengatur perilaku manusia dilupakan. Dosa telah dianggap ringan dan hal yang biasa, Tuhan hanyalah cerita tahayul dan dianggap sebagai sosok yang di gunakan untuk menakut-nakuti anak kecil belaka. Hingga timbullah pandangan bahwa takkan ada lagi kehidupan sesudah mati, tak ada lagi balasan surga neraka, seperti yang dikatakan Klein, "dengan membebaskan diri dari rasa takut terhadap ancaman  neraka, maka lepas pula harapan akan kenikmatan surga, orang hidup,mati, dan selesailah sudah".Pernyatan itu di tepis Allah, "Dan mereka berkata "tak ada kehidupan lain, melainkan kehidupan di muka bumi ini. Kita mati dan hidup tidak ada yang memusnahkan melainkan waktu. Sesungguhnya mereka tidak tahu tentang hal itu, mereka hanya menduga-duga saja".
Lalu bagaimana kita menyelamatkan moral kita yang selama ini tercecer di lembah hiruk pikuknya nafsu sekaligus mengembalikan "tuhan" kita Yang telah kita "hilangkan" tersebut ? jawabannya adalah seperti yang telah di katakana Prof.Jaques Barzun, "restore god to the fullness of his reality" (kembalikan Tuahan kepada kedudukanNya yang sesungguahnya).Dengan mengacu pada ucapan jaques berarti kita harus menghadirkan Tuhan dalam segala hal dalam menampaki proses kehidupan kita, menghadirkan hakikat tuhan bahwa Dialah sbagai inspirasi atau patokan moral hidup.
Kalau memang "tuhan" harus hadir dalam segala dimensi kehidupan ini maka salah satu jalan yang harus di tempuh adalah membentangkan agama sebagai jalan bagi kita untuk lebih dekat atau lebih mengena rasa ketuhanan kita,.Mengapa harus agama yang kita pilih sebagi salah satu cara bagi kita untuk menghadirkan tuhan atau sumber moral kita ?.
Memperbincangkan masalah sumber moral yang sesuai dengan perilaku manusia sekaligus tak pernah kering adalah agama sebagai jawabannya, karena agama merupakan jalan penyampaian moral tuan yang di turankan kepada makhluknya.Moral yang bersumber dari agama akan menjadi kuat dan tahan terhadap berbagai benturan zaman sehingga agama akan tetap memposisikan "manusia sebagai manusia".
Adalah pasti bahwa agama islam merupakan sumber nilai-nilai moral islam. Nilai moral dalam islam sangat di junjung tinggi dan ditempatkan pada kursi agung.Karena moral merupakan elemen penting dalam membentuk peradaban. Nabi Muhammad di utus kedunia tak sebatas menyampaikan risalah ketauhidan semata melainkan menyampaikan pesan-pesan moral yang hasanah.("tiadalah Kami mengutus kamu(Muhammad)melainkan bagi rahmat semesta alam. Aku di utus untuk menyempurnakan akhlak manusia.)
Jelaslah bahwasannya misi Muhammad tidak sekedar mengajarkan ritual-ritual ibadah, do'a atau menyuruh jihad, melainkan sebuah misi yang sangat mulia yakni menghijrahkan manusia dari kesesatan menuju kebenararan ,dari sifat barbarisme menuju sikap tawadhu', dari sikap rakus menuju sikap qona'ah dan ikhlas. Menjadikan manusia kembali kefitrohnya yang di ridoi Tuhan.
Moral islam menekankan aspek penyucian hati karena pada hakekatnya hati merupakan pusat inspirasi dan motivasi akal untuk melaksanakan atau tidak melaksanakan terhadap sesuatu hal yang akhirnya melahirkan suatu pandangan (persepsi). Manusia yang pandangan hidupnya tidak jelas atau mengambang maka cenderung perilakunya pun nampak amburadul dan bingung. Keyakinan yang tidak mantap akan melahirkan sosok-sosok manusia kelas rendah, munafik, pragmatis, hedonis dan sekule. (Dr. Muhammad Tholib, Melacak kekafiran berfikir).
Hal ini pernah terjadi pada bangsa arab saat islam belum datang .Arab jahiliyah kebanyakan kaum pengembara badui yang hidupnya nomaden, memiliki jiwa yang kasar, kering dari "air ketauhidan", suka merampok, tak tahu halal haram, hanya berorientasi pada kesenangan yang sekejap sehingga alqu'an mengatakan orang-orang ini munafik dan tak bertuhan.
Tetapi setelah islam datang keadaan berubah, mereka menjadi santun, terbimbing kejalan yang benar dan ditinggikan kedudukannya yang semula bersifat hewaniyah kepada kedudukan yang mulia.
Itulah islam yang lebih mengedepankan pembentukan moral di banding dengan hal lain. Karena kita tahu bahwa moral merupakan penentu"warna" peradaban manusia. Jika bangsa yang besar, maju dalam bidang keduniaan saja tetapi moral bangsanya amburadul maka sudah dapat di pastikan bangsa itu akan segera runtuh
.
Islam di datangkan untuk memperbaiki peradaban manusia oleh karena itu islam adalah agama peradaban dan tak menentang peradaban suatu bangsa manapun selama peradaban itu memberi manfaat kepada manusia dan mengangkat harkat, martabat manusia. Namun jika peradaban itu ternyata tak sesuai dengan fitroh manusia dan mendehumanisasi, maka islam akan melawan ,karens islam adalah agama perlawanan.Wa Allahua'lam.

Rabu, 10 Oktober 2012


Melihat Dimensi Orba sebagai Kelanjutan Orla

soeharto murid soekarno - roy bb janis

Judul : Soeharto Murid (Penerus Ajaran Politik) Soekarno
Penulis : Roy BB Janis
Penerbit : Optimist, Jakarta
Cetakan : I, September 2012
Tebal : xx+306 halaman
ISBN : 978-602-97878-2-5
Orde Baru (Orba) di bawah Soeharto acap kali dianggap sebagai benar-benar baru, terlepas dari rezim sebelumnya, Orde Lama (Orla) pimpinan Soekarno. Pada satu sisi memang ada yang benar-benar baru, tetapi lebih banyak yang sama. Tepatnya, rezim Orba merupakan kelanjutan praktik sebelumnya. Orba hanya mengulang, melanjutkan, dan menyempurnakan rezim Orla.
Inilah yang ingin disampaikan Roy BB Janis dalam bukunya, Soeharto Murid (Penerus Ajaran Politik) Soekarno. Tidak ada yang benar-benar original dari rezim Orba. Contoh, dalam mempertahankan UUD 1945 sebagai konstitusi permanen melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Sejak kemerdekaan, Indonesia telah memiliki tiga UUD Sementara, yaitu UUD 1945 (berlaku dari 1945 sampai 1949), UUD 1949 (berlaku kira-kira setahun), dan UUD 1950 berlaku dari 1950 sampai 1959 (hlm 119).
Pancasila, yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 juga demikian, yang menjadi satu-satunya asas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Presiden Soekarno memperkenalkan tafsir terhadap Pancasila dengan Manipol-Usdek (Manifesto Politik UUD 1945, Sosialisme ala Indonesia, Demokrasi Terpimpin dan Kepribadian Indonesia). Manifesto ini merupakan materi pokok pidato Presiden Soekarno tanggal 17 Agustus 1959 berjudul “Penemuan Kembali Revolusi Kita” yang kemudian ditetapkan Dewan Pertimbangan Agung menjadi Garis-Garis Besar Haluan Negara (hlm 121).
Pada zaman Orba, UUD 1945 ini juga terus dipertahankan, bahkan disakralkan karena tidak ada amendemen. Pancasila juga demikian. Kelompok, organisasi, hingga partai harus berasaskan Pancasila.
Soeharto juga membuat penafsiran Pancasila yang didoktrinkan kepada masyarakat Indonesia lewat Pedoman, Penghayatan, dan Pengamalan Pancasila yang dikuatkan dengan Ketetapan MPR No II/MPR/1978 (hlm 132).
Sistem kepartaian pada masa Orla juga dilanjutkan Orba. Kegagalan sistem Demokrasi Parlementer dan kekisruhan politik pascapemilu 1955 dengan banyak partai membuat Soekarno memperkenalkan ide Demokrasi Terpimpin dan konsep Nasakom (Nasionalis, Agama, dan Komunisme).
Dengan Demokrasi Terpimpin, Soekarno diangkat sebagai presiden seumur hidup, meski akhirnya terjegal di tengah jalan. Melalui Nasakom, Soekarno ingin mengganti sistem multipartai dalam Demokrasi Parlementer sebelumnya. Nasakom inilah yang akan menopang dan memperkuat jalannya pemerintahan.
Demokrasi era Orba memang bukan Terpimpin, tetapi Liberal. Hanya, praktiknya, kekuasaan terus-menerus diupayakan agar dipegang Soeharto. Dalam UUD 1945 disebutkan bahwa seorang presiden bisa dipilih kembali pada periode berikutnya. Inilah yang dilakukan Soeharto melalui mesin politik Golkar yang disokong militer begitu kuat.
Dari tiap pemilu, Soeharto terus terpilih karena Golkar selalu menjadi pemenang. Dia mundur pada Mei 1998 karena tekanan publik. Genap sudah 32 tahun sejak pertama Soeharto menjadi presiden tahun 1966. Krisis ekonomi 1997/1998 menjadi faktor lain yang ikut juga membuat kekuasaan Soeharto jatuh.
Faktor ini pula yang dulu menjadi penyebab rezim Soekarno jatuh dan berpindah tangan. Demokrasi Liberal era Orba ternyata hanya kulit. Isinya tidak berbeda dengan Demokrasi Terpimpin, yakni terciptanya otoritarianisme.
Melalui buku ini, Janis menegaskan bahwa doktrin “baru” pada rezim Orba tidaklah benar-benar “baru”. Dia justru merupakan kelanjutan atau meneruskan rezim sebelumnya. Soeharto tiada lain adalah “murid” atau “pelanjut” ajaran politik Soekarno.
Buku ini hanya fokus pada titik-titik persamaan, tidak menyentuh sedikit pun perbedaan yang bisa disebut “baru”. Misalnya, orientasi ekonomi Orla lebih cenderung ke sosialis, sementara Orba ke kapitalis.

Kamis, 20 September 2012

Mengukur Ikhlas Kita 


Dari Amirul Mukminin, Umar bin Khathab ra, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya segala amal perbuatan bergantung kepada niatnya dan tiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan RasulNya, maka ia akan mendapatkan pahala hijrah karena Allah dan Rasulullah. Barang siapa yang hijrahnya karena faktor duniawi yang akan ia dapatkan atau karena wanita yang akan ia nikahi, maka ia dalam hijrahnya itu ia hanya akan mendapatkan apa yang ia niatkan.” (HR Bukhari-Muslim)
Setiap amal bergantung kepada niatnya. Yup, benar banget. Niatnya pun kudu ikhlas karena ingin mengharap keridhoan Allah Swt. semata. Hmm.. kudu ikhlas ya? Waduh, kayaknya kata itu buat kita jadi makin asing neh. Bukan kenapa-kenapa, susah juga nemuin orang yang mau ikhlas di jaman sekarang. Segalanya diukur dengan duit, dengan harta benda, ketenaran, cari muka dan sejenisnya. Iya, maksudnya kalo kita mau nolong orang kadang yang kepikiran: nih orang mau ngehargai gue nggak sih; orang ini kalo gue bantu mau balas jasa nggak ke gue; kalo gue menolong dia nama gue harum nggak sih; kalo gue nolong orang ini, kira-kira berapa gue dibayar; dan seabreg pikirin lainnya yang ujungnya itung-itungan deh.
Bro en Sis, secara teori udah banyak orang yang jelasin. Seperti kata teori pula, kayaknya gampang untuk bisa ikhlas. Tapi praktiknya, duh kita bisa rasakan sendiri gimana susahnya jaga hati dan jaga pikiran biar ikhlas kita nggak ternoda. Soalnya, ada aja celah yang bisa bikin kita melenceng dari niat awal dalam berbuat. Awalnya sih insya Allah bakalan ikhlas, eh nggak tahunya di tengah jalan ada yang godain kita supaya nggak ikhlas. Halah, gawat bener kan?
Sobat muda muslim, sekadar ngingetin memori kita, dalam Islam ikhlas ternyata mendapat perhatian khusus lho. Soalnya, ini erat kaitannya dengan amal perbuatan kita dan keimanan kita kepada Allah Swt. Jangan sampe deh kita beramal diniatkannya bukan karena perintah Allah Swt. atau bukan karena ingin mendapat ridho Allah Swt. Kalo sampe diniatkan dalam beramal karena ingin dipuji manusia gimana tuh? Duh, nggak tega deh saya nyebutinnya. Soalnya, tuh amal nggak bakalan ada bekasnya alias nggak mendapat ridho Allah Swt. Amal kita jadi sia-sia, Bro. Ih, nggak mau kan kita beramal tapi nggak dapat pahala? Amit-amit deh!
Bro en Sis, ikhlas adalah melakukan amal, baik perkataan maupun perbuatan ditujukan untuk Allah Ta’ala semata. Allah Swt. dalam al-Quran menyuruh kita ikhlas, seperti dalam firmanNya (yang artinya): “dan (aku telah diperintah): "Hadapkanlah mukamu kepada agama dengan tulus dan ikhlas dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang musyrik.” (QS Yunus [10] :105)
Rasulullah saw, juga ngingetin kita melalui sabdanya (yang artinya), “Allah tidak menerima amal kecuali apabila dilaksanakan dengan ikhlas untuk mencari ridha Allah semata.” (HR Abu Daud dan Nasa’i)
Imam Ali bin Abu Thalib r.a juga berkata, “orang yang ikhlas adalah orang yang memusatkan pikirannya agar setiap amal diterima oleh Allah.”
Bro, sekadar tahu aja bahwa ikhlas adalah buah dan intisari dari iman. Seseorang nggak dianggap beragama dengan benar jika tidak ikhlas. Firman Allah Swt (yang artinya): Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (QS al-An’aam [6]: 162)
Allah Swt. juga berfirman dalam ayat lain (yang artinya), “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepadaNya dalam (menjalankan) agama dengan lurus.” (QS al-Bayyinah [98]: 5)
Imam Syafi’i pernah memberi nasihat kepada seorang temannya, “Wahai Abu Musa, jika engkau berijtihad dengan sebenar-benar kesungguhan untuk membuat seluruh manusia ridha (suka), maka itu tidak akan terjadi. Jika demikian, maka ikhlaskan amalmu dan niatmu karena Allah Azza wa Jalla.”
Karena itu nggak heran kalo Ibnu Qayyim al-Jauziyah ngasih perumpamaan seperti ini, “Amal tanpa keikhlasan seperti musafir yang mengisi kantong dengan kerikil pasir. Memberatkannya tapi tidak bermanfaat.” Dalam kesempatan lain beliau menulis, “Jika ilmu bermanfaat tanpa amal, maka tidak mungkin Allah mencela para pendeta ahli Kitab. Jika ilmu bermanfaat tanpa keikhlasan, maka tidak mungkin Allah mencela orang-orang munafik.”
Bro, lawannya ikhlas itu adalah ujub dan riya’. Itulah sebabnya orang yang sekaliber Umar bin Abdul ‘Aziz r.a. pun sangat takut akan penyakit riya’. Ketika ia berceramah kemudian muncul rasa takut dan penyakit ujub, segera ia memotong ucapannya. Dan ketika menulis karya tulis dan takut ujub, maka segera merobeknya. Subhanallah!
Al-Fudhail bin ‘Iyadh mengomentari ayat kedua dari surat al-Mulk (liyabluwakum ayyukum ahsanu ‘amalaa), bahwa maksud dari amal yang ihsan (paling baik) adalah amal yang akhlash (paling ikhlas) dan yang ashwab (paling benar). Ada dua syarat diterimanya amal ibadah manusia, ikhlas dan benar. Amal perbuatan, termasuk ibadah yang dilakukan dengan ikhlas karena Allah semata tetapi pelaksanaannya tidak sesuai dengan syariat Islam, maka amal tersebut tidak akan diterima Allah. Begitu juga sebaliknya, jika perbuatan dan ibadah dilakukan sesuai dengan syariat, tetapi yang melaksanakannya tidak semata-mata ikhlas karena Allah, maka amalnya tidak diterima.
Ikhlaskah kita?
Ikhlaskah kita jika beramal tapi ngarepin imbalan materi? Ah, kamu pasti bisa menilai sendiri deh. Iyalah. Misalnya nih, kalo ortu kamu minta tolong sama kamu untuk belanja kebutuhan dapur ke warung dekat rumah, kemudian kamu minta imbalan ke ortu kamu, ati-ati lho. Itu bisa termasuk nggak ikhlas kamu berbuat. Sebaiknya lurus-lurus aja. Nggak ngerasa ada ruginya alias nothing to lose, gitu lho. Mau dapet materi apa nggak dari apa yang kita usahain, kita nggak peduli. Nolong aja. Apalagi itu sama ortu. Jangan sampe deh ketika ortu minta tolong, eh kita malah pake tarif segala: Jauh-dekat Rp 2000 (idih, emangnya naik angkot!).
Bro, kalo kebetulan kamu ditunjuk jadi ketua OSIS atau ketua Rohis, nggak usah ngarepin materi dari jabatan yang kamu sandang. Kalo kamu beranggapan bahwa dengan menjadi ketua OSIS kamu bakalan bisa dengan mudah narikin iuran dari siswa terus kamu bisa memperkaya diri, wah itu namanya bukan cuma nggak ikhlas tapi udah melakukan penyalahgunaan jabatan.
Bro, meski kita nggak ngarepin imbalan secara materi, tapi yakin deh bahwa apa yang kita lakukan pasti mendapat ganjaran kebaikan lain di sisi Allah Swt. Jadi, nothing to worry about alias nggak perlu cemas dengan jaminan kebaikan dalam bentuk lain yang Allah berikan sebagai ‘imbalan’ atas keikhlasan kita. Intinya sih, jangan ngarepin imbalan dari manusia, cukup ridho dari Allah Ta’ala aja yang kita harepin. Setuju kan?
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Anas bin Malik ra., ia berkata: Aku pernah berjalan bersama Rasulullah saw. Beliau mengenakan selendang dari Najran yang kasar pinggirnya. Tiba-tiba seorang badui berpapasan dengan beliau, lalu menarik selendang beliau dengan kuat. Ketika aku memandang ke sisi leher Rasulullah saw. ternyata pinggiran selendang telah membekas di sana, karena kuatnya tarikan. Orang itu kemudian berkata: Hai Muhammad, berikan aku sebagian dari harta Allah yang ada padamu. Rasulullah saw. berpaling kepadanya, lalu tertawa dan memberikan suatu pemberian kepadanya. (HR Muslim)
Subhanallah, Rasulullah saw. malah memberikan harta (berinfak), padahal orang badui itu memintanya dengan kasar. Tapi itulah Rasulullah saw. sudah mengajarkan kepada umatnya bahwa beramal baik harus ikhlas dan tanpa pertimbangan untung-rugi lagi. Hebat kan, Bro?
Oya, keikhlasan kita juga akan diuji saat kita merasa ingin dilihat oleh orang lain, lho. Kalo mikirin hawa nafsu sih, kadang kita kepikiran ya pengen dilihat oleh teman kita ketika kita berbuat sesuatu. Ketika masukkin duit ke keropak di masjid, kita bahkan kepengin banget diliatin ama temen di sebelah kita. Emang sih, duitnya kita tutupi dengan tangan satunya saat masukkin ke keropak yang diedarkan di masjid kalo ada acara di sana. Apalagi kalo sampe terbersit di pikiran dan hati kita akan adanya decak kagum dari teman yang ngeliat amal kita, “subhanallah ya, dia rajin shadaqahnya”. Duh, itu bisa menodai amalan kita, Bro. Emang nggak mudah berbuat ikhlas ya. Tapi bukan berarti nggak bisa dilakukan.
Saat tampil jadi imam shalat, dan kebetulan bacaan al-Quran kita maknyus alias enak didengerin sama jamaah lain, jangan sampe deh kita punya pikiran ingin dianggap paling hebat. Apalagi kalo sampe diam-diam kita malah mengagumi diri sendiri, “orang lain nggak ada yang bisa kayak saya. Mereka pantas memilih saya jadi imam shalat”. Ah, ngeri deh. Ngeri kalo amalan kita bakalan nguap begitu aja. Insya Allah cara shalatnya sih bener asal ngikutin aturan yang udah ditetapkan dalam fiqih, tapi persoalan niat yang ada di pikiran dan hati bisa merusak amalan baik kita. Bener lho. Gara-gara nggak ikhlas, amal kita jadi sia-sia. Karena kita lebih ngarepin agar diliat oleh orang daripada ingin diliat sama Allah Swt.
Bro en Sis, emang sih kita bisa merasakan langsung kalo targetnya ingin diliat orang. Begitu suara kita mengalun manis dan easy listening saat mendendangkan nasyid terbaru dan kemudian para jamaah penonton konser nasyid tingkat RT yang kita ikutin itu bersorak gembira dan mengelu-elukan kita, pasti deh ada aja sedikit rasa jumawa en bangga diri (gue gitu, lho!). Awalnya sih boleh-boleh aja kita merasa ingin dihargai orang lain. Wajar kok. Tapi yang nggak wajar adalah kita merasa harus memposisikan diri selalu ingin dihargai dan dihormati. Kalo nggak dihargai ngambek dan kecewa. Nah, yang bisa merusak amal kita adalah karena niat yang udah tercemar “ingin selalu diliat orang”. Padahal, menjadi “dilihat orang” adalah efek samping, bukan tujuan kita dalam berbuat/beramal. Orang yang sering tampil dimuka umum wajar atuh kalo akhirnya dikenal. Tul nggak sih?
Muhasabah diri
Allah Swt. berfirman (yang artinya): “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS al-Hasyr [59]: 18)
Ayat ini merupakan isyarat untuk melakukan muhasabah setelah amal berlalu. Karena itu Umar bin Khaththab ra berkata, “Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab” (Ibnu Qudamah, Minhajul Qashidin (terj.), hlm. 478)
Muhasabah di sini artinya senantiasa memeriksa diri kita sendiri. Sudah sejauh mana sih yang kita raih dalam beramal baik. Sudah banyak nggak pahala yang kita perbuat, atau jangan-jangan malah sebaliknya kedurhakaan yang mengisi penuh pundi-pundi amal yang bakalan kita pertanggungjawabkan di hadapan Allah?
Yuk, kita bareng-bareng meningkatkan kualitas amalan kita dan memperbanyak amal shaleh. Senantiasa ikhlas, bersabar, dan bersyukur kepada Allah Swt. Nggak jamannya lagi mengingkari kelemahan kalo sejatinya kita emang lemah dan nggak mampu. Juga nggak perlu malu mengakui kesalahan jika memang kita salah. Jangan menyerang orang lain yang kita tuding sebagai biang kesalahan kita, tapi kita melakukan interospeksi diri. Sebab, kita hidup bersama orang lain. Dan kita memang saling membutuhkan satu sama lain. Kita juga pasti butuh kepedulian dari orang lain (termasuk kita sendiri harus peduli dengan orang lain). Itu sebabnya, kita harus ikhlas menerima teguran dan nasihat dari teman kita. Jangan merasa terhina jika dinasihati. Tapi sebaliknya, merasa diistimewakan karena selalu diingatkan.
Nikmati dunia ini dengan cara yang benar dan tuntunan yang sesuai ketetapan Allah Swt. dan RasulNya. Tak perlu khawatir, karena semua yang diberikan oleh Allah Swt. kepada kita adalah demi kebaikan kita. Tetaplah kita bersama Allah Swt. dan RasulNya. Jalani hidup dengan ikhlas, insya Allah nikmat, bahagia, tanpa perlu merasa was-was. Ikhlas menjadikan kita lebih terhormat di hadapan Allah Swt., juga menjadikan orang lain berusaha mencontoh pribadi kita yang baik. Semoga, kita semua bisa menjadi hamba-hamba Allah Swt. yang senantiasa ikhlas menghadapi berbagai kenyataan hidup sembari berdoa memohon ampun dan pertolongan kepada Allah Swt. Kita muhasabah diri: seberapa ikhlaskah kita? Hanya kita yang mampu menjawabnya. 

Rabu, 04 Juli 2012


Memahami Pluralisme Agama


Judul : Satu Tuhan Banyak Agama
Penulis : Media Zainul Bahri
Penerbit : Mizan, Bandung
Tahun : I, Agustus 2011
Tebal : xvi+536 Halaman
Pluralisme agama hingga kini masih menjadi kajian yang sangat menarik, tidak hanya di tataran wacana, tapi juga di tataran praksis.
Apalagi jika kita mencermati kondisi keberagamaan konteks negeri ini, di mana kekerasan suatu kelompok terhadap kelompok lain yang keyakinannya berbeda meski agamanya sama, atau terhadap kelompok penganut agama lain, masih terjadi. Juga tindakan-tindakan intoleransi dan diskriminasi, terutama terhadap umat beragama minoritas, yang membuat hubungan antarumat beragama tidak harmonis dan selalu bermasalah.
Padahal, meskipun agama itu berbeda-beda, sesungguhnya memiliki titik persamaan di ranah transendental yang menyatukan. Pluralisme agama berupaya menjelaskan titik persamaan itu, yakni penyembahan terhadap Tuhan yang sebetulnya sama. Namun, alih-alih, paham ini justru dianggap sesat dan produk asing yang ingin menghancurkan dan mengacaubalaukan keyakinan atau akidah umat beragama.
Kita masih ingat, Majelis Ulama Indonesia (MUI) memfatwakan sesat-menyesatkan liberalisme dan pluralisme agama. Padahal, jika kita menoleh ke belakang, pemikiran pluralisme agama sesungguhnya memiliki akar yang kuat dalam tradisi pemikiran Islam, yakni dalam tradisi pemikiran sufisme (mistisisme).
Meski tidak disebut ‘pluralisme agama’ atau apa yang dalam studi-studi pemikiran Islam disebut dengan ‘wahdatul adyan’ (kesatuan agama-agama), pemikiran-pemikiran itu memberi petunjuk yang terang perihal pluralisme agama. Buku karya Media Zainul Bahri yang diangkat dari disertasi doktoralnya ini mencoba menilik persoalan pluralisme agama atau wahdatul adyan dalam tradisi pemikiran sufisme terutama dari tiga tokoh sufi besar dan ternama: Ibnu Arabi, Jalaluddin Rumi, dan Al-Jili.
Sebenarnya ada cukup banyak buku-buku yang berbicara tentang pemikiran tiga sufi itu, tapi seperti juga diakui Media, tidak banyak yang mengulasnya secara komprehensif. Beberapa di antaranya malah hanya mengulasnya dalam satu bagian. Itu pun terpisah-pisah. Buku ini cukup komprehensif melihat pandangan ketiga tokoh sufi itu, dengan literatur-literatur primer dan sekunder yang relevan dan kaya informasi.
Tajalli (Penampakan) Tuhan
Menurut Media, pemikiran pluralisme agama dari ketiga sufi itu antara lain berakar dari konsepsi mereka tentang penampakan Tuhan. Konsep ini sebenarnya hampir umum dikenal dalam pemikiran-pemikiran sufi selain mereka. Konsep tajalli bahkan menjadi keseluruhan bangunan pemikiran Ibnu Arabi dan teorinya. Konsep ini bermula dari pandangan bahwa Tuhan menciptakan alam agar dapat melihat diri-Nya dan memperkenalkan diri-Nya melalui alam. Alam adalah cermin bagi Tuhan.
Melalui cermin itulah Dia mengenal dan memperkenalkan wajah-Nya. Penampakan atau tajalli adalah proses bahwa Dia menampakkan diri dalam beragam bentuk, pemikiran, dan keyakinan yang tak terbatas. Ibnu Arabi mengatakan, “Esensi (Sumber) hanya satu, tetapi hukum-hukumnya beraneka. Hal yang demikian itu tidak tampak kecuali bagi orang-orang yang mengetahui.” (halaman 47).
Pemikiran Rumi tentang tajalli Tuhan hampir sama dengan Ibnu Arabi. Beberapa peneliti menyebut Rumi terpengaruh Ibnu Arabi. Menurut Rumi, Tuhan menampakkan diri-Nya pada ribuan cara dan bentuk, serta selalu hadir di setiap saat pada ribuan cara yang berbeda pula (hlm. 180). Menurut Rumi, umat manusia sesungguhnya menyembah Tuhan yang sama, namun kebanyakan mereka lebih condong kepada bentuk-bentuk yang tidak esensial dan sering berselisih karena persoalan itu dan hal-hal lain yang sepele.
Rumi juga membedakan secara tajam antara bentuk dan makna. Bentuk adalah luar (eksoteris), sementara makna adalah dalam atau hakikat (esoteris). Salah satu syair Rumi menyebutkan: Sampai kapankah engkau akan terpikat bejana? Tinggalkanlah ia: Pergi, airlah yang harus engkau cari! Hanya melihat bentuk, makna tak akan engkau temukan. Jika engkau seorang bijak, ambillah mutiara dari dalam kerang (halaman 189).
Al-Jili, seperti dua sufi sebelumnya, juga bicara tentang tajalli Tuhan. Ia juga disebut-sebut terpengaruh pemikiran Ibnu Arabi. Menurutnya, alam semesta secara total adalah hamba (abdi) Tuhan yang diciptakan-Nya dengan natur demikian. Karena itu, tidak satu pun di alam semesta ini yang tidak mengabdi kepada Tuhan. Keyakinan, ritus atau ibadah, dan model-model keberagamaan umat manusia berbeda-beda tak lain karena perbedaan pengaruh nama dan sifat-sifat Tuhan pada makhluk sebagai wadah tajalli-Nya (halaman 258).
Seperti Ibnu Arabi, Al- Jilli memandang bahwa hanya ada satu realitas yang sebenarnya. Realitas tunggal itu adalah Wujud Mutlak (Tuhan), yang bebas dari segenap pemikiran, hubungan, arah dan waktu. Buku ini cukup menarik. Sebagai sebuah karya ilmiah,buku ini juga berbobot dan layak menjadi salah satu rujukan penting untuk melihat wacana pluralisme agama dari akar tradisi pemikiran Islam, yakni dari kaum sufi.
Meski begitu, buku ini masih terbuka untuk kritik, karena hakikatnya buku ini juga hasil atau buah dari pembacaan terhadap pemikiran tokoh yang sesungguhnya masih menjadi bahan perdebatan. Tiga sufi itu sama sekali tidak menyebut pemikiran mereka sebagai apa yang kita kenal sekarang dengan pluralisme agama atau ‘wahdatul adyan’, sehingga bisa ditafsirkan bermacam-macam.

Kamis, 28 Juni 2012

Pungutan di Sekolah Negeri dan Sekolah Swasta menurut Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 44 Tahun 2012


Seperti diketahui bahwa beberapa saat yang lalu tepatnya pada tanggal 28 Juni 2012, Mendikbud M. Nuh telah menetapkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 44 Tahun 2012 tentang Pungutan dan Sumbangan Biaya Pendidikan Pada Satuan Pendidikan Dasar. Barangkali regulasi ini bukanlah hal yang menarik perhatian publik. Namun sebenarnya dalam produk eksekutif ini diatur hal-hal penting yang patut diketahui masyarakat yaitu syarat-syarat sekolah dapat mengadakan pungutan.
Peraturan Menteri (Permen) ini mengatur segala hal tentang sumbangan dan pungutan biaya pendidikan, namun terbatas pada pendidikan dasar. Sehingga yang akan kita bahas adalah syarat-syarat pungutan di Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) dalam pendidikan formal baik yang diselenggarakan pemerintah / pemerintah daerah (negeri) maupun yang diselenggarakan oleh masyarakat (swasta).

Pungutan oleh Sekolah Negeri

Pada dasarnya satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh pemerintah atau pemerintah daerah, dalam hal ini SD Negeri dan SMP Negeri dilarang melakukan pungutan. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 9 ayat (1) yang menyatakan bahwa “Satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh Pemerintah, dan/atau pemerintah daerah dilarang memungut biaya satuan pendidikan“.
Namun ternyata ketentuan yang berbeda terdapat dalam Pasal 10 ayat (1) yang menegaskan bahwa “Satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah yang dikembangkan/dirintis menjadi bertaraf internasional dapat memungut biaya satuan pendidikan dan digunakan hanya untuk memenuhi kekurangan biaya investasi dan biaya operasi yang diperoleh dari Pemerintah dan/atau pemerintah daerah“.
Pasal 10 ayat (1) dapat saja dipahami bertentangan dengan Pasal 5. Karena dalam pasal 5 diatur bahwa pungutan bukanlah sumber biaya pendidikan pada sekolah negeri. Lebih lanjut ketentuan Pasal 5 mengatur bahwa “Sumber biaya pendidikan pada satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah:
a. anggaran pendapatan dan belanja negara;
b. anggaran pendapatan dan belanja daerah;
c. sumbangan dari peserta didik atau orang tua/walinya;
d. sumbangan dari pemangku kepentingan pendidikan dasar di luar peserta
didik atau orang tua/walinya;
e. bantuan lembaga lainnya yang tidak mengikat;
f. bantuan pihak asing yang tidak mengikat; dan/atau
g. sumber lain yang sah
“.
Terlepas dari pertentangan hal di atas, satu hal yang pasti adalah SD dan SMP Negeri yang tidak dirintis bertaraf internasional tidak boleh melakukan pungutan dalam bentuk apapun. Memang satuan pendidikan dasar termasuk SD dan SMP Negeri dapat menerima sumbangan. Namun namanya sumbangan tentu bersifat sukarela dan tidak memaksa wali murid yang tidak mampu.

Pungutan di Sekolah Swasta

Berbeda dengan sekolah negeri, sekolah yang diselenggarakan oleh masyarakat, dalam hal ini SD dan SMP Swasta memang dilegalkan untuk melakukan pungutan. Hal ini tercantum dalam Pasal 6 huruf b yang berisi “Sumber biaya pendidikan pada satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh masyarakat: b. pungutan, dan/atau sumbangan dari peserta didik atau orang tua/walinya“.
SD dan SMP Swasta yang tidak dikembangkan menjadi bertaraf internasional juga dapat menerima bantuan biaya operasional dari Pemerintah dan/atau pemerintah daerah. Sedangkan yang menolak untuk menerima bantuan tersebut dilarang melakukan pungutan dari peserta didik atau orang tua/walinya. Ketentuan ini terdapat dalam Pasal 7.
Lebih lanjut syarat-syarat pungutan bagi sekolah swasta diatur dalam Pasal 8 ayat (1) yaitu “Pungutan yang dilakukan oleh satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh masyarakat wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. didasarkan pada perencanaan investasi dan/atau operasi yang jelas dan dituangkan dalam rencana strategis, rencana kerja tahunan, serta anggaran tahunan yang mengacu pada Standar Nasional Pendidikan;
b. perencanaan investasi dan/atau operasi sebagaimana dimaksud pada huruf a diumumkan secara transparan kepada pemangku kepentingan satuan pendidikan terutama orang tua/wali peserta didik, komite sekolah, dan penyelenggara satuan pendidikan dasar;
c. dimusyawarahkan melalui rapat komite sekolah; dan
d. dana yang diperoleh dibukukan secara khusus oleh satuan pendidikan dasar terpisah dari dana yang diterima dari penyelenggara satuan pendidikan dasar dan disimpan dalam rekening atas nama satuan pendidikan dasar
“.

Syarat-Syarat Pungutan

Selanjutnya Pasal 11 mengatur bahwa “Pungutan tidak boleh:
a. dilakukan kepada peserta didik atau orang tua/walinya yang tidak mampu secara ekonomis;
b. dikaitkan dengan persyaratan akademik untuk penerimaan peserta didik, penilaian hasil belajar peserta didik, dan/atau kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan; dan/atau
c. digunakan untuk kesejahteraan anggota komite sekolah atau lembaga representasi pemangku kepentingan satuan pendidikan baik langsung maupun tidak langsung
.”
Pasal 16 juga menentukan bahwa Bagi satuan pendidikan dasar yang telah melakukan pungutan yang bertentangan dengan Peraturan Menteri ini harus mengembalikan sepenuhnya kepada perserta didik/orang tua/wali peserta didik. Dan Pelanggaran terhadap ketentuan dalam Peraturan Menteri ini dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Demikianlah sekilas tentang pengaturan pungutan di sekolah negeri dan sekolah swasta menurut Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 44 Tahun 2012 tentang Pungutan dan Sumbangan Biaya Pendidikan Pada Satuan Pendidikan Dasar. Semoga bermanfaat.

Selasa, 10 April 2012

Mencium Tangan


Beberapa dalil tentang mencium tangan, kaki dan perut Nabi; juga mencium tangan Ahlul Bait dan Ulama pewaris Nabi saw. Dari sini bahwasanya BOLEH mencium tangan seseorang yang mempunyai kelebihan dalam agama baik karena ilmunya, zuhudnya, wara’nya, keshalehannya, keturunannya.
Beberapa Hadits Nabi
“Dari Ummu Aban binti al-Warra’ bin Zarra’ dari kakeknya radliyallahu ‘anhum; dan kakeknya merupakan salah satu delegasi Abdul Qais (yang mendatangi Nabi). Kakeknya Ummu Aban berkata: Saat kita sampai di Madinah, kami berlarian dari kendaraan kita untuk mencium kedua tangan dan kaki Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam” (HR Bukhori).
“Dari Sayyidina Jabir radliyallahu ‘anhu bahwasanya Umar radliyallahu ‘anhu mencium tangan Nabi” (HR al-Hafizh Ibn al-Muqri)
“Dari Sayyidina al-Wazza’ bin ‘Amir radliyallahu ‘anhu berkata: sewaktu kita tiba (ke Madinah), maka dikatakan kepada kami bahwa dia adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka kami mengambil kedua tangan dan kakinya lalu kami menciumnya” (HR Bukhori).
“Dari Sayyidina Hibban bin Wasi’ dari pembesar-pembesar kaumnya radliyallahu ‘anhum, bahwasanya sewaktu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam meluruskan barisan pada waktu perang Badar dan pada tangan beliau sebuah kendi, lalu beliau melewati Sawwad bin Ghuzayyah dan melukai perut Sawwad (tidak sengaja -red.-). Maka Sawwad berkata: Anda telah melukai saya maka berilah saya balasan! Kemudian Nabi membuka bajunya, lalu Sawwad memeluk Nabi dan mencium perutnya, lalu Nabi mendoakan bagi Sawwad agar mendapat kebaikan” (HR Ahmad).
“Dari Ibn Hajar al-Asqalani dalam Fathul Bari; bahwasanya Abi Lubabah dan Ka’b bin Malik dan kedua temannya radliyallahu ‘anhum mencium tangan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika Allah memberikan taubat kepada mereka” (Fathul Bari 48/11).
“Dari Ibn Jud’an, Tsabit berkata kepada Anas: Apakah anda memegang Nabi dengan tangan anda? Anas berkata: Iya! Maka Tsabit mencium tangan Anas” (HR Bukhori)
“Dari asy-Sya’bi: Bahwasanya Zaid bin Tsabit radliyallahu ‘anhu menyalatkan jenazah, lalu mendekatlah kepada Zaid keledai miliknya untuk dinaikinya. Kemudian datanglah ‘Abdullah bin ‘Abbas radliyallahu ‘anhu sambil menuntun keledai Zaid. Berkatalah Zaid kepadanya: Lepaskanlah wahai sepupu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam! Ibn ‘Abbas malah menjawab: Beginilah kami diperintahkan untuk berbuat baik kepada para Ulama dan Pembesar (agama). Lalu tiba-tiba Zaid mencium tangan Ibn ‘Abbas dan berkilah: Beginilah kami diperintah untuk berbuat baik kepada Ahlul Bait Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam” (HR Hakim).
“Dari Shuhaib berkata: Saya melihat Ali mencium tangan dan kedua kaki al-’Abbas” (HR Bukhori).
Dalil Amalan para Salafus Salih
“Al-’Asqalani berkata: Imam Nawawi berkata: mencium tangan seseorang karena zuhudnya, keshalehannya, ilmunya, kemuliaannya, ataupun semacamnya yang berhubungan dengan urusan agama; tidak dimakruhkan malah disunatkan. Tetapi apabila mencium tangan karena kekayaannya, kekuasaannya, pengaruhnya diantara ahli Dunia maka itu adalah makruh yang sangat-sangat makruh!” (Fathul Bari 48/11).
“Al-Safarini al-Hanbali berkata: Abul Ma’ali berkata di Syarhu Hidayah: Mencium tangan seorang ulama, yang mempunyai kemuliaan karena agamanya maka itu adalah boleh. Dan aku telah mengetahu bahwasanya para shahabat selalu mencium tangan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam seperti yang telah disebutkan dalam Hadits Ibn Umar radliyallahu ‘anhum ketika beliau pulang dari perang Mu`tah” (Gidzaul Albab 287/1).
“Imam Malik Berkata: Apabila mencium tangan seseorang karena membesarkan dan mengagungkan maka itu adalah makruh. Tetapi apabila karena untuk mendekatkan diri kepada Allah untuk agamanya, ilmunya, kemuliaannya maka itu adalah boleh” (Fathul Bari 84/11).
“Ibn ‘Abidin al-Hanafi berkata: Tidak apa-apa mencium tangan seseorang yang berilmu dan wara’ karena untuk mencari berkah, malahan itu adalah sunat” (Hasyiyah Ibn ‘Abidin 254/5).
Wallahu a’lam.

Kamis, 02 Februari 2012



Imajinasi Agama di Era Globalisasi





Judul : Bayang-bayang Tuhan; Agama dan Imajinasi
Penulis : Yasraf Amir Piliang
Penerbit : Mizan, Jakarta
Tahun : I, Mei 2011
Tebal : liv+372 halaman
Globalisasi dengan kekuatan kapitalismenya yang begitu digdaya memberikan efek luar biasa terhadap seluruh sisi kehidupan umat manusia. Tidak hanya sisi ekonomi, politik, sosial, budaya, tapi juga—bahkan—agama. Agama tidak hanya dipandang sebagai doktrin suci, tapi juga sebagai bagian dari kultur atau budaya ketika doktrin itu diterjemahkan, dipraktikkan, atau diejawantahkan dalam bentuk perilaku dalam kehidupan. Sebagai bagian dari kultur atau budaya, agama kemudian masuk dalam lingkaran perkembangan dan perubahan kultur atau budaya di setiap masanya.
Buku Yasraf Amir Piliang, salah satu pakar yang fokus dijagat posmo Indonesia ini antara lain ingin melihat realitas agama/keagamaan di era globalisasi dengan pendekatan cultural studies yang diharapkan bisa membentangkan ruang keanekaragaman dan multiplisitas pandangan, interpretasi, dan makna kultural realitas keagamaan. Melihat bagaimana umat beragama, khususnya Islam, mengimajinasikan agamanya yang kemudian mendorongnya untuk melakukan sesuatu yang dianggap selaras dengan yang ia imajinasikan dalam kehidupan beserta segala tanda, simbol, atribut, atau aksesoris di dalamnya.
Imajinasi, menurut Yasraf dalam buku ini, adalah mekanisme atau proses melihat, menggambarkan, atau memvisualisasikan sesuatu. Proses ini berada di dalam struktur mental kita. Imajinasi bukanlah realitas, melainkan sebuah produksi keserupaan mental. Imajinasi dengan demikian adalah sebuah struktur mental bagaimana seseorang menghasilkan konsepsi dan makna dunia yang berdasar pada sudut pandang, perasaan, logika, dan keyakinan tertentu.
Yasraf mengutip Benedict Anderson dalam bukunya, Imagined Communities, yang menjelaskan semacam imajinasi diri sendiri, sebuah imajinasi tentang diri, kelompok, komunitas, masyarakat, agama, negara atau bangsa yang disebutnya komunitas terbayangkan (imagined community). Imajinasi-imajinasi ini secara konkret dimanifestasikan dalam ekspresi verbal, audio, tekstual, dan visual. Terdapat imajinasi tertentu yang diproduksi untuk menantang yang lain dalam rangka mendominasi kesadaran orang-orang dan mendefinisikan realitas sosial, kultural, dan keagamaan.
Pertama, imajinasi imperialis, sebagai imajinasi yang dikonstruksi oleh kekuatan imperial untuk mendefinisikan dunia berdasarkan imajinasi mereka. Ia adalah imajinasi Eurosentris. Inilah yang oleh Edward Said sebut sebagai imajinasi Orientalis. Kedua, imajinasi dialogis, dengan simbol, ekspresi, dan bahasa di dalamnya dianggap sebagai sesuatu yang dapat dinegosiasikan oleh kelompok-kelompok berkepentingan untuk menghasilkan berbagai bentuk eklektisisme, hibridisasi, dan sinkretisme. Ia adalah imajinasi posmodern dalam bentuknya yang paling moderat yang merayakan prinsip dialogis dan pemahaman secara mutual.
Ketiga, imajinasi multikultural, sebagai sebuah kecenderungan pengakuan akan ketidakberjarakan kultural yang melampaui batas-batas negara, ras, agama, dan etnis. Multikulturalisme adalah sebuah paradigma kultural dalam membangun sebuah ruang identitas lintas budaya. Keempat, imajinasi dekonstruktif, sebagai sebuah imajinasi budaya yang diproduksi melalui pemisahan teks-teks (keagamaan) dari asal usul-nya yang suci, dari kebenaran akhir, dan dari dogma absolutnya (logos). Ia adalah bentuk pembacaan yang memutus imajinasi terbatas dari logos agar mampu membuka semua dunia yang tidak terbayangkan, tidak terpikirkan, dan tidak terepresentasikan.
Buku ini menarik untuk melihat imajinasi umat beragama dan bagaimana realitas keagamaan saat ini, dengan akibat pengaruh globalisasi dengan berbagai kemajuan teknologinya, telah banyak bergeser kepada realitas budaya populer yang dilematis. Di satu sisi, kemajuan itu menjadi berkah karena bisa menjadi sarana untuk mengenalkan dan menyampaikan pesan agama secara baik dan modern, tapi di sisi lain sarana itu justru menjadi alat pendangkalan agama karena agama kemudian ditarik untuk mengikuti dan sesuai dengan selera populer, selera pasar, dan kapitalisme, sehingga yang terimajinasi kemudian adalah penampakan wajah agama yang palsu dan menipu, demi kepentingan dan selera pasar.