Kamis, 02 Februari 2012



Imajinasi Agama di Era Globalisasi





Judul : Bayang-bayang Tuhan; Agama dan Imajinasi
Penulis : Yasraf Amir Piliang
Penerbit : Mizan, Jakarta
Tahun : I, Mei 2011
Tebal : liv+372 halaman
Globalisasi dengan kekuatan kapitalismenya yang begitu digdaya memberikan efek luar biasa terhadap seluruh sisi kehidupan umat manusia. Tidak hanya sisi ekonomi, politik, sosial, budaya, tapi juga—bahkan—agama. Agama tidak hanya dipandang sebagai doktrin suci, tapi juga sebagai bagian dari kultur atau budaya ketika doktrin itu diterjemahkan, dipraktikkan, atau diejawantahkan dalam bentuk perilaku dalam kehidupan. Sebagai bagian dari kultur atau budaya, agama kemudian masuk dalam lingkaran perkembangan dan perubahan kultur atau budaya di setiap masanya.
Buku Yasraf Amir Piliang, salah satu pakar yang fokus dijagat posmo Indonesia ini antara lain ingin melihat realitas agama/keagamaan di era globalisasi dengan pendekatan cultural studies yang diharapkan bisa membentangkan ruang keanekaragaman dan multiplisitas pandangan, interpretasi, dan makna kultural realitas keagamaan. Melihat bagaimana umat beragama, khususnya Islam, mengimajinasikan agamanya yang kemudian mendorongnya untuk melakukan sesuatu yang dianggap selaras dengan yang ia imajinasikan dalam kehidupan beserta segala tanda, simbol, atribut, atau aksesoris di dalamnya.
Imajinasi, menurut Yasraf dalam buku ini, adalah mekanisme atau proses melihat, menggambarkan, atau memvisualisasikan sesuatu. Proses ini berada di dalam struktur mental kita. Imajinasi bukanlah realitas, melainkan sebuah produksi keserupaan mental. Imajinasi dengan demikian adalah sebuah struktur mental bagaimana seseorang menghasilkan konsepsi dan makna dunia yang berdasar pada sudut pandang, perasaan, logika, dan keyakinan tertentu.
Yasraf mengutip Benedict Anderson dalam bukunya, Imagined Communities, yang menjelaskan semacam imajinasi diri sendiri, sebuah imajinasi tentang diri, kelompok, komunitas, masyarakat, agama, negara atau bangsa yang disebutnya komunitas terbayangkan (imagined community). Imajinasi-imajinasi ini secara konkret dimanifestasikan dalam ekspresi verbal, audio, tekstual, dan visual. Terdapat imajinasi tertentu yang diproduksi untuk menantang yang lain dalam rangka mendominasi kesadaran orang-orang dan mendefinisikan realitas sosial, kultural, dan keagamaan.
Pertama, imajinasi imperialis, sebagai imajinasi yang dikonstruksi oleh kekuatan imperial untuk mendefinisikan dunia berdasarkan imajinasi mereka. Ia adalah imajinasi Eurosentris. Inilah yang oleh Edward Said sebut sebagai imajinasi Orientalis. Kedua, imajinasi dialogis, dengan simbol, ekspresi, dan bahasa di dalamnya dianggap sebagai sesuatu yang dapat dinegosiasikan oleh kelompok-kelompok berkepentingan untuk menghasilkan berbagai bentuk eklektisisme, hibridisasi, dan sinkretisme. Ia adalah imajinasi posmodern dalam bentuknya yang paling moderat yang merayakan prinsip dialogis dan pemahaman secara mutual.
Ketiga, imajinasi multikultural, sebagai sebuah kecenderungan pengakuan akan ketidakberjarakan kultural yang melampaui batas-batas negara, ras, agama, dan etnis. Multikulturalisme adalah sebuah paradigma kultural dalam membangun sebuah ruang identitas lintas budaya. Keempat, imajinasi dekonstruktif, sebagai sebuah imajinasi budaya yang diproduksi melalui pemisahan teks-teks (keagamaan) dari asal usul-nya yang suci, dari kebenaran akhir, dan dari dogma absolutnya (logos). Ia adalah bentuk pembacaan yang memutus imajinasi terbatas dari logos agar mampu membuka semua dunia yang tidak terbayangkan, tidak terpikirkan, dan tidak terepresentasikan.
Buku ini menarik untuk melihat imajinasi umat beragama dan bagaimana realitas keagamaan saat ini, dengan akibat pengaruh globalisasi dengan berbagai kemajuan teknologinya, telah banyak bergeser kepada realitas budaya populer yang dilematis. Di satu sisi, kemajuan itu menjadi berkah karena bisa menjadi sarana untuk mengenalkan dan menyampaikan pesan agama secara baik dan modern, tapi di sisi lain sarana itu justru menjadi alat pendangkalan agama karena agama kemudian ditarik untuk mengikuti dan sesuai dengan selera populer, selera pasar, dan kapitalisme, sehingga yang terimajinasi kemudian adalah penampakan wajah agama yang palsu dan menipu, demi kepentingan dan selera pasar.