Rabu, 04 Juli 2012


Memahami Pluralisme Agama


Judul : Satu Tuhan Banyak Agama
Penulis : Media Zainul Bahri
Penerbit : Mizan, Bandung
Tahun : I, Agustus 2011
Tebal : xvi+536 Halaman
Pluralisme agama hingga kini masih menjadi kajian yang sangat menarik, tidak hanya di tataran wacana, tapi juga di tataran praksis.
Apalagi jika kita mencermati kondisi keberagamaan konteks negeri ini, di mana kekerasan suatu kelompok terhadap kelompok lain yang keyakinannya berbeda meski agamanya sama, atau terhadap kelompok penganut agama lain, masih terjadi. Juga tindakan-tindakan intoleransi dan diskriminasi, terutama terhadap umat beragama minoritas, yang membuat hubungan antarumat beragama tidak harmonis dan selalu bermasalah.
Padahal, meskipun agama itu berbeda-beda, sesungguhnya memiliki titik persamaan di ranah transendental yang menyatukan. Pluralisme agama berupaya menjelaskan titik persamaan itu, yakni penyembahan terhadap Tuhan yang sebetulnya sama. Namun, alih-alih, paham ini justru dianggap sesat dan produk asing yang ingin menghancurkan dan mengacaubalaukan keyakinan atau akidah umat beragama.
Kita masih ingat, Majelis Ulama Indonesia (MUI) memfatwakan sesat-menyesatkan liberalisme dan pluralisme agama. Padahal, jika kita menoleh ke belakang, pemikiran pluralisme agama sesungguhnya memiliki akar yang kuat dalam tradisi pemikiran Islam, yakni dalam tradisi pemikiran sufisme (mistisisme).
Meski tidak disebut ‘pluralisme agama’ atau apa yang dalam studi-studi pemikiran Islam disebut dengan ‘wahdatul adyan’ (kesatuan agama-agama), pemikiran-pemikiran itu memberi petunjuk yang terang perihal pluralisme agama. Buku karya Media Zainul Bahri yang diangkat dari disertasi doktoralnya ini mencoba menilik persoalan pluralisme agama atau wahdatul adyan dalam tradisi pemikiran sufisme terutama dari tiga tokoh sufi besar dan ternama: Ibnu Arabi, Jalaluddin Rumi, dan Al-Jili.
Sebenarnya ada cukup banyak buku-buku yang berbicara tentang pemikiran tiga sufi itu, tapi seperti juga diakui Media, tidak banyak yang mengulasnya secara komprehensif. Beberapa di antaranya malah hanya mengulasnya dalam satu bagian. Itu pun terpisah-pisah. Buku ini cukup komprehensif melihat pandangan ketiga tokoh sufi itu, dengan literatur-literatur primer dan sekunder yang relevan dan kaya informasi.
Tajalli (Penampakan) Tuhan
Menurut Media, pemikiran pluralisme agama dari ketiga sufi itu antara lain berakar dari konsepsi mereka tentang penampakan Tuhan. Konsep ini sebenarnya hampir umum dikenal dalam pemikiran-pemikiran sufi selain mereka. Konsep tajalli bahkan menjadi keseluruhan bangunan pemikiran Ibnu Arabi dan teorinya. Konsep ini bermula dari pandangan bahwa Tuhan menciptakan alam agar dapat melihat diri-Nya dan memperkenalkan diri-Nya melalui alam. Alam adalah cermin bagi Tuhan.
Melalui cermin itulah Dia mengenal dan memperkenalkan wajah-Nya. Penampakan atau tajalli adalah proses bahwa Dia menampakkan diri dalam beragam bentuk, pemikiran, dan keyakinan yang tak terbatas. Ibnu Arabi mengatakan, “Esensi (Sumber) hanya satu, tetapi hukum-hukumnya beraneka. Hal yang demikian itu tidak tampak kecuali bagi orang-orang yang mengetahui.” (halaman 47).
Pemikiran Rumi tentang tajalli Tuhan hampir sama dengan Ibnu Arabi. Beberapa peneliti menyebut Rumi terpengaruh Ibnu Arabi. Menurut Rumi, Tuhan menampakkan diri-Nya pada ribuan cara dan bentuk, serta selalu hadir di setiap saat pada ribuan cara yang berbeda pula (hlm. 180). Menurut Rumi, umat manusia sesungguhnya menyembah Tuhan yang sama, namun kebanyakan mereka lebih condong kepada bentuk-bentuk yang tidak esensial dan sering berselisih karena persoalan itu dan hal-hal lain yang sepele.
Rumi juga membedakan secara tajam antara bentuk dan makna. Bentuk adalah luar (eksoteris), sementara makna adalah dalam atau hakikat (esoteris). Salah satu syair Rumi menyebutkan: Sampai kapankah engkau akan terpikat bejana? Tinggalkanlah ia: Pergi, airlah yang harus engkau cari! Hanya melihat bentuk, makna tak akan engkau temukan. Jika engkau seorang bijak, ambillah mutiara dari dalam kerang (halaman 189).
Al-Jili, seperti dua sufi sebelumnya, juga bicara tentang tajalli Tuhan. Ia juga disebut-sebut terpengaruh pemikiran Ibnu Arabi. Menurutnya, alam semesta secara total adalah hamba (abdi) Tuhan yang diciptakan-Nya dengan natur demikian. Karena itu, tidak satu pun di alam semesta ini yang tidak mengabdi kepada Tuhan. Keyakinan, ritus atau ibadah, dan model-model keberagamaan umat manusia berbeda-beda tak lain karena perbedaan pengaruh nama dan sifat-sifat Tuhan pada makhluk sebagai wadah tajalli-Nya (halaman 258).
Seperti Ibnu Arabi, Al- Jilli memandang bahwa hanya ada satu realitas yang sebenarnya. Realitas tunggal itu adalah Wujud Mutlak (Tuhan), yang bebas dari segenap pemikiran, hubungan, arah dan waktu. Buku ini cukup menarik. Sebagai sebuah karya ilmiah,buku ini juga berbobot dan layak menjadi salah satu rujukan penting untuk melihat wacana pluralisme agama dari akar tradisi pemikiran Islam, yakni dari kaum sufi.
Meski begitu, buku ini masih terbuka untuk kritik, karena hakikatnya buku ini juga hasil atau buah dari pembacaan terhadap pemikiran tokoh yang sesungguhnya masih menjadi bahan perdebatan. Tiga sufi itu sama sekali tidak menyebut pemikiran mereka sebagai apa yang kita kenal sekarang dengan pluralisme agama atau ‘wahdatul adyan’, sehingga bisa ditafsirkan bermacam-macam.