Rabu, 10 Oktober 2012


Melihat Dimensi Orba sebagai Kelanjutan Orla

soeharto murid soekarno - roy bb janis

Judul : Soeharto Murid (Penerus Ajaran Politik) Soekarno
Penulis : Roy BB Janis
Penerbit : Optimist, Jakarta
Cetakan : I, September 2012
Tebal : xx+306 halaman
ISBN : 978-602-97878-2-5
Orde Baru (Orba) di bawah Soeharto acap kali dianggap sebagai benar-benar baru, terlepas dari rezim sebelumnya, Orde Lama (Orla) pimpinan Soekarno. Pada satu sisi memang ada yang benar-benar baru, tetapi lebih banyak yang sama. Tepatnya, rezim Orba merupakan kelanjutan praktik sebelumnya. Orba hanya mengulang, melanjutkan, dan menyempurnakan rezim Orla.
Inilah yang ingin disampaikan Roy BB Janis dalam bukunya, Soeharto Murid (Penerus Ajaran Politik) Soekarno. Tidak ada yang benar-benar original dari rezim Orba. Contoh, dalam mempertahankan UUD 1945 sebagai konstitusi permanen melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Sejak kemerdekaan, Indonesia telah memiliki tiga UUD Sementara, yaitu UUD 1945 (berlaku dari 1945 sampai 1949), UUD 1949 (berlaku kira-kira setahun), dan UUD 1950 berlaku dari 1950 sampai 1959 (hlm 119).
Pancasila, yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 juga demikian, yang menjadi satu-satunya asas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Presiden Soekarno memperkenalkan tafsir terhadap Pancasila dengan Manipol-Usdek (Manifesto Politik UUD 1945, Sosialisme ala Indonesia, Demokrasi Terpimpin dan Kepribadian Indonesia). Manifesto ini merupakan materi pokok pidato Presiden Soekarno tanggal 17 Agustus 1959 berjudul “Penemuan Kembali Revolusi Kita” yang kemudian ditetapkan Dewan Pertimbangan Agung menjadi Garis-Garis Besar Haluan Negara (hlm 121).
Pada zaman Orba, UUD 1945 ini juga terus dipertahankan, bahkan disakralkan karena tidak ada amendemen. Pancasila juga demikian. Kelompok, organisasi, hingga partai harus berasaskan Pancasila.
Soeharto juga membuat penafsiran Pancasila yang didoktrinkan kepada masyarakat Indonesia lewat Pedoman, Penghayatan, dan Pengamalan Pancasila yang dikuatkan dengan Ketetapan MPR No II/MPR/1978 (hlm 132).
Sistem kepartaian pada masa Orla juga dilanjutkan Orba. Kegagalan sistem Demokrasi Parlementer dan kekisruhan politik pascapemilu 1955 dengan banyak partai membuat Soekarno memperkenalkan ide Demokrasi Terpimpin dan konsep Nasakom (Nasionalis, Agama, dan Komunisme).
Dengan Demokrasi Terpimpin, Soekarno diangkat sebagai presiden seumur hidup, meski akhirnya terjegal di tengah jalan. Melalui Nasakom, Soekarno ingin mengganti sistem multipartai dalam Demokrasi Parlementer sebelumnya. Nasakom inilah yang akan menopang dan memperkuat jalannya pemerintahan.
Demokrasi era Orba memang bukan Terpimpin, tetapi Liberal. Hanya, praktiknya, kekuasaan terus-menerus diupayakan agar dipegang Soeharto. Dalam UUD 1945 disebutkan bahwa seorang presiden bisa dipilih kembali pada periode berikutnya. Inilah yang dilakukan Soeharto melalui mesin politik Golkar yang disokong militer begitu kuat.
Dari tiap pemilu, Soeharto terus terpilih karena Golkar selalu menjadi pemenang. Dia mundur pada Mei 1998 karena tekanan publik. Genap sudah 32 tahun sejak pertama Soeharto menjadi presiden tahun 1966. Krisis ekonomi 1997/1998 menjadi faktor lain yang ikut juga membuat kekuasaan Soeharto jatuh.
Faktor ini pula yang dulu menjadi penyebab rezim Soekarno jatuh dan berpindah tangan. Demokrasi Liberal era Orba ternyata hanya kulit. Isinya tidak berbeda dengan Demokrasi Terpimpin, yakni terciptanya otoritarianisme.
Melalui buku ini, Janis menegaskan bahwa doktrin “baru” pada rezim Orba tidaklah benar-benar “baru”. Dia justru merupakan kelanjutan atau meneruskan rezim sebelumnya. Soeharto tiada lain adalah “murid” atau “pelanjut” ajaran politik Soekarno.
Buku ini hanya fokus pada titik-titik persamaan, tidak menyentuh sedikit pun perbedaan yang bisa disebut “baru”. Misalnya, orientasi ekonomi Orla lebih cenderung ke sosialis, sementara Orba ke kapitalis.