Minggu, 26 Mei 2013

Pesan-pesan Moral Doktrin Islam






Judul : Jernihnya Mata Air Islam
Penulis : Fajar Kurnianto
Penerbit : Republika, Jakarta
Tahun: I, April 2010
Tebal: viii+206 halaman
Islam adalah ajaran Allah untuk seluruh umat manusia. Ia menuntun mereka untuk meraih kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Meskipun Islam diturunkan di jazirah Arab yang sangat kontekstual dengan masa itu, tetapi Rasulullah mampu menerjemahkan Islam dan menyampaikannya dengan bahasa yang universal, tidak hanya relevan pada konteks saat itu, tetapi juga saat ini.
Islam mudah diterima karena ajaran-ajarannya tidak sulit dan memberatkan manusia. Model penyampaian Rasulullah yang santun dan manusiawi juga menjadi poin penting keberhasilan dakwah Islam. Lebih kurang dua puluh tiga tahun Rasulullah mengajarkan Islam di Mekkah dan Madinah dengan sukses yang luar biasa. Berbagai hadangan merintang di jalan, namun beliau mampu melaluinya dengan baik. Karena, beliau yakin bahwa ketika optimisme dan tawakal kepada Allah akan berbuah manis.
Saat ini, umat Islam dihadapkan pada persoalan kemanusiaan yang cukup mengkhawatirkan. Gelombang modernisasi yang tidak terkontrol melahirkan manusia-manusia modern yang kehilangan jati diri dan pegangan hidup. Kebebasan tak bertanggungjawab menjadi tuhan yang dipuja-puji di mana-mana. Kehidupan glamour dan hilangnya kepekaan pada sesama manusia, bahkan kepada orang terdekatnya, menjadi kenyataan menakutkan yang nyaris kita temukan di sekitar kita.
Islam yang seharusnya mampu menghadirkan jawaban dan menyikapi persoalan secara tepat kerap kali terjebak pada pemahaman sempit masa lalu yang makin membuat manusia menjauh darinya. Janji-janji Surga dan ancaman Neraka kerap kali menjadi bahan tertawaan. Apa atau siapa sebetulnya yang salah dalam hal ini? Tidak ada yang salah dalam ajaran Islam yang diturunkan dan diterjemahkan oleh Rasulullah dengan baik sesuai kondisi umat saat itu. Tidak ada yang salah juga dengan ajaran Islam yang terekam dalam Alquran dan sabda-sabda Rasulullah. Kalau demikian, berarti yang perlu diperbaiki dalam hal ini adalah model penyampaian ajaran Islam saat ini.
Model penyampaian Islam yang kaku dan terkesan mendoktrin manusia kerap kali membuat manusia lari. Padahal, ajaran Islam sesungguhnya menyajikan sesuatu yang enak dirasakan dan dinikmati sehingga menarik perhatian manusia untuk ikut tenggelam ke dalamnya. Ajaran Islam sesungguhnya sangat manusia dan rasional diterjemahkan dalam konteks apa pun. Ajaran-ajaran yang bernuansa ibadah ataupun hukum bisa lebih dalam dipahami dikaitkan dengan kehidupan manusia yang nyata. Islam bukan doktrin yang kaku, tetapi mengandung banyak pesan hidup yang betul-betul menjadi petunjuk yang berguna bagi umat manusia. Islam adalah ajaran yang jernih, sejernih mata air.

Selasa, 21 Mei 2013

JANGAN MENYEMBAH BILA KITA TIDAK TAHU SIAPA YANG KITA SEMBAH


Dari asal-usulnya agama-agama yang tumbuh di Jawa itu memang wujud dari sinkretisme. Dikarena agama yang diterima di Jawa ini berasal dari luar tanah Jawa, bukan agama asli yang muncul dari tanah Nusantara. Berbagai agama itu disaring terlebih dahulu dan dipadukan dengan unsur-unsur budaya lokal. Jadi kalau yang beragama Hindu, tidak sama seperti yang di India. Demikian pula untuk Buddha, Islam, Kristen. Semua agama itu diterima, dan di rekatkan dengan unsur-unsur budaya lokal Jawa. Bagi orang Jawa itu semua merupakan cara untuk menghayati agamanya masing-masing.


ISLAM SANTRI DAN ISLAM ABANGAN

Di Jawa dikenal dengan Islam santri dan abangan. Sebenarnya ungkapan ini tidak popular bagi orang Jawa sendiri. Yang mempopulerkan istilah ini adalah penjajah, dan hal ini dilakukan untuk mengadu domba orang-orang Jawa dengan mempertajam perbedaan dalam pengamalan ibadah.

Mereka yang menjalani ritual Islam yang normative disebut sebagai santri. Sedangkan yang tidak menjalankan shalat dan ritual lainnya disebut Islam abangan. Lalu penjajah mencari-cari  lagi istilah untuk mempertentangkan keduanya, yaitu yang santri disebut mutihan, putih. Ini untuk membedakan Islam yag abang, merah. Ada lagi yang menerjemahkan mutihan dari muti’an, orang Islam yang taat

Sementara Islam abangan dari kata “aba’an”, yaitu orang Islam yang mbalela, menolak syariat. Ini semua merupakan siasat penjajah untuk mengadu domba. Padahal, orang Jawa sendiri tidak mempertentangkan kedua hal tersebut. Semua berjalan secara harmonis. Bertemu dalam keselamatan.



SEMBAHYANG DAN SALAT

Dalam khazanah Islam Jawa, ibadah sholat disebut dengan “sembahyang”. Kata sembahyang sendiri belum ada di Kamus Jawa Kuno. Bahkan tidak ditentukan dalam bahasa Kawi yang berkembang di Jawa pada abad XIV-XV. Tampaknya kata ini berkembang di Jawa setelah Islam diterima sebagai agama raja-raja Jawa.

Kata “sembah” dan “hyang” memang ada di dalam kosa kata Jawa Kuna. Sembah berarti menghormati, tunduk, atau memohon, sedangkan kata “hyang” artinya dewa atau dewata. Dengan demikian, kata sembahyang merupakan paduan kata samba dan hyang, yang artinya penyembahan kepada Dewa atau Tuhan.

Kata salat sendiri merupakan serapan utuh dari “shalat” yang ada di dalam Islam. Kata ini gencar diperkenalkan kepada masyarakat pada zaman Indonesia pasca kemerdekaan. Yang jelas bagi orang Jawa masih lazim menyebut sembahyang lebih luas pemakaiannya daripada kata salat, dan hal ini sudah menjadi identik. Hanya, kata sembahyang lebih luas pemakaiannya daripada kata salat. Karena kata sembahyang bisa dikenakan bagi mereka yang beragama apa saja, sedangkan kata salat hanya untuk orang Islam.

“Orang yang unggul adalah orang yang mampu memahami dan menghayati kesejatian salat. Bukan orang yang tidak pernah absen mengerjakan salat lima kali sehari yang unggul, melainkan orang yang memahami dan menghayati hakikat dari salat, sembah dan pujian”.
(Sunan Bonang)

Ajaran agama Islam mewajibkan umatnya untuk menjalankan salat  wajib lima kali sehari, dan hal ini diperintahkan dalam Al-Qur’an. Menegakkan salat tidak sama dengan mengerjakan salat. Juga tidak sama dengan mempelajari dalil-daiil salat

Mengerjakan salat lebih berkonotasi menjalankan upacara lahiriah. Yang dikehendaki Al-Qur’an tentu saja tidak demikian. Kata kerja yang digunakan untuk menyatakan salat adalah agama. Arti agama adalah menegakkan sesuatu dalam arti yang sebenarnya, sedangkan arti “sholat”” sendiri adalah permohonan atau doa.

Dalam sholat terkandung tindakan “washala”, yaitu menyatukan diri dengan Tuhan. Jadi, termasuk dalam penegakan sholat adalah menegakkan substansi atau semangat dari sholat. Itulah sebabnya kata mendirikan sholat ada yang memahaminya sebagai ”menegakkan agama”. Dan hal ini lebih kena dikaitkan dengan ketakwaan.

Dalam surat Al-Nisa (4) : 43 disebutkan bahwa dalam sholat setip kata yang diucapkan harus dimengerti. Dan sholat harus dilakukan dalam keadaan sadar sepenuhnya.

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendekati sholat ketika kalian dalam keadaan mabuk hingga kalian mengerti apa yang kalian ucapkan; dan juga jangan dalam keadaan junub.” ( QS. Al-Nisa (4) : 43)

Bila firman Tuhan yang diatas dipahami secara literal, secara harfiah, maka hanya orang yang mengerti bahasa Arab saja yang diwajibkan sholat. Nah, jika sholat itu wajib ditegakkan oleh setiap orang yang beriman, rangkaian kalimat “mabuk hingga mengetahui apa yang diucapkan” harus dipahami sebagai keadaan sadar sepenuhnya. Dalam keadaan inilah orang mengerti kepada siapa dia melakukan penyembahan.

Tanpa mengetahui siapa yang disembah, jelas itu hanya pekerjaan sia-sia. Disebut sebagai orang yang menyembah sesuatu yang tidak ada. Tidak ada objeknya. Tiada tujuan. Dan hanya orang bodoh yang mau melakukan pekerjaan yang sia-sia. Hal semacam inilah yang disebut sebagai orang yang direndahkan martabat hidupnya. Membuang sesuatu yang berharga demi mengejar suatu impian yang tidak ada nyatanya.

Sholat atau penyembahan yang berguna itu, tentu saja sholat yang dapat mencegah terjadinya tindakan “fakhsya” dan “munkar

“Bacakanlah apa yang telah diwahyukan kepadamu dari kitab Al-Qur’an dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah perbuatan keji dan munkar. Dan sesungguhya merenungkan Karunia Allah itu sangat besar artinya dalam hidup ini. Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.”  (QS. Al-Ankabut (29) : 45)

Dengan ayat ini, sebenarnya yang harus menjadi perhatian diri kita sebagai umat muslim dan ulama Islam adalah hakikat atau tujuan shalat.

Realita yang terjadi ditengah masyarakat, kita selalu disibukan untuk memperhatikan orang yang mengerjakan shalat. Akhirnya, timbullah perasaan negative terhadap orang yang tidak mengerjakan sholat. Kita lebih tertarik ke sangkarnya daripada burungnya. Kita lebih terpesona kulit daripada isinya Kebanyakan ulama tidak mengupas realitas shalat. Hasil konkret dari penegakan shalat. Justru kita lebih sibuk mengawasi pelaksanaan shalat seseorang.


KEJI DAN MUNKAR

Perbuatan keji adalah perbuatan hina, dan menjijikan. Tergolong dalam perbuatan keji adalah perbuatan hati seperti iri dengki, dendam dan sejenisnya.

Perbuatan munkar adalah perbuatan yang nyata-nyata ditolak oleh masyarakat, seperti kezaliman, perjudian, mabuk-mabukan, pelacuran, korupsi, percanduan, dan sejenisnya. Jadi, bila orang benar-benar menegakkan sholat, niscaya tidak akan ada lagi KKN, perselingkuhan, pengkhianatan dan lain sebagainya.

Meskipun dari pemimpin kepala rumah tangga hingga penggede negeri ini tidak pernah ke masjid atau musholah, tapi kalau mereka menegakkan shalat niscaya kita akan mendapatkan suasana kehidupan dalam ruah tangga, lingkungan, pemerintah yang tenang dan bersih. Tentu saja akan  lebih baik jika para pemimpin kepala rumah tangga hingga penggede pemerintah ini rajin ke masjid dan menegakkan shalat.

Dalam segala sesuatu itu ada bukti yang menunjukan bahwa Allah itu Maha Esa
Jika yang menghidupkan, yang mematikan, dan yang memberi rezeki itu adalah Allah
Jika setiap kata yang keluar dari mulut kita merupakan doa
Mengapa kita harus terperangkap dalam kondisi kehidupan seperti sekarang ini ???

Rabu, 01 Mei 2013


PANCASETYA SEBAGAI PONDASI CITRA DIRI PEMIMPIN

Pancasetya berasal dari bahasa Jawa. Pancasetya merupakan perintah untuk berbuat dan bertindak kebajikan. Yaitu, perbuatan baik yang sudah dikenal dan diketahui oleh masyarakat. Dalam bahasa agama disebut amar makruf, yang berarti merupakan wujud kesholehan dalam hidup. Sesuatu yang makruf itu merupakan wujud dari kearifan lokal.

Sering kesholehan lebih banyak diukur dari penampilan formal ibadahnya. Akhlak yang menjadi tujuan agama sering dilupakan oleh kita. 

Bukankah Nabi Muhammad itu diutus untuk menyempurnakan budi pekerti yang mulia ?

Bila kita mendengar hadist tersebut diatas, biasanya kita ini pasti langsung mengiyakan. Akan tetapi, kalau kita lihat orang yang baik budi pekertinya, dan orang itu tidak tampak rajin beribadah, kita mulai bersungut-sungut. Kedengkian menjalari hati kita. Diam-diam terbesit dalam hati; “Percuma berkelakuan baik bila tidak sholat”.

Pasti ada sesuatu yang tidak beres dalam otak orang tersebut bila masih memiliki penilaian tersebut, dikarenakan tidak dapat membedakan mana yang utama untuk kesejahteraan bersama, dan mana yang hanya semata-mata untuk pribadi

Kesholehan umat beragama harus terwujud dalam kehidupan sosial. Harus hadir dalam kehidupan masyarakat. Tidak ubahnya dengan syariat, tarekat pun hanya cara membangun kematangan spiritual.

Jika syariat untuk membangun kedisiplinan hidup; maka,
 tarekat untuk membangkitkan kesadaran dan kematangan spiritual.

Sesuatu yang makruf itu merupakan wujud dari kearifan lokal. Artinya, apa yang makruf di Jazirah Arabia, belum tentu makruf di Jawa. Dan sebaliknya. Islam di bumi Nusantara Indonesia khusunya tanah Jawa diperkenalkan sesuai dengan kemakrufan yang dipahami masyarakat Jawa, bukan yang dikenal oleh masyarakat Arab, India, Cina, atau lainnya. Dalam kemakrufan lokal dikenal dengan nama “Pancasetya”.




Pancasetya terdiri dari setya budaya, setya wacana, setya semaya, setya laksana, dan setya mitra. Dalam hal ini, bertindak bijak merupakan ketaatan atau pemenuhan janji untuk berbudaya, berwacana, bersemaya, berlaksana, dan bermitra dalam kehidupan masyarakat.

A.    SETYA BUDAYA.

Dalam kehidupan bermasyarakat kita harus dapat menaati dan menghormati budaya. Lebih-lebih bagi para pejabat negeri. Karena budaya merupakan rahim dari suatu masyarakat atau etnik. Tanpa adat dan budaya suatu etnik atau bangsa niscaya akan punah.

Budaya merupakan proses belajar.
Dengan budayanya manusia mencoba mengatasi alam lingkungan
Hidupnya untuk kesejahteraan hidup.
Dalam budaya suatu masyarakat menciptakan
Nilai-nilai keluhurannya
Dan, selanjutnya nilai-nilai itu diwariskan.

 Manusia belajar keindahan melalui budaya masyarakatnya. Kebenaran dan kebajikan subjektif diperoleh seseorang dari budaya tempat tinggalnya.

Bahkan agama pun mula-mula di dapati dari budaya masyarakatnya. Baru di kemudian hari ia dapat belajar agama yang berada di luar lingkup budayanya.

Budaya tidak bersifat statis. Jika budaya itu bersinggungan dengan budaya asing, tokoh-tokoh masyarakat yang ada di dalam suatu budaya biasanya mengatasi tantangan hidup masyarakatnya, dengan cara memfilter atau menyaring budaya asing. Dilakukan paduan-paduan budaya sehingga lahirlah budaya baru. Dan rasa yang ada pada budaya baru itu dapat diterima demi kesejahteraan lahir dan batin masyarakatnya.

Agama pun lahir dari suatu budaya. Memang benar, kitab suci itu diakui oleh pemeluk agamanya sebagai wahyu Ilahi. Namun wahyu itu untuk pertama kalinya justru diterapkan pada budaya tertentu.

Agama Islam misalnya, untuk pertama kali diterapkan pada masyarakat di Jaziarah Arabia. Agama Hindu dan Budha pertama kali diamalkan di India. Sedangkan agama Yahudi dan Kristen mula-mula diamalkan di kawasan Palestina dan negeri-negeri sekitarnya.

Kitab suci lahir melalui seseorang yang disebut nabi, rasul, avatar atau orang yang diakui telah menerima berita dari Tuhan. Salah satu fungsinya, untu memperbaiki kualitas budaya tempat nabi itu dilahirkan. Karena itu, rasul-rasul itu di utus Tuhan dengan menggunakan bahasa, budaya, masyarakat, atau bangsanya. Agar misi atau pesan yang dibawa itu bisa diterima masyarakat atau bangsa itu sendiri. Kenyataannya agama dapat berkembang di suatu masyarakat bila agama itu diajarkan berdasarkan budaya yang ada.

Dengan setya budaya kita harus dapat hidup bersama tanpa menghancurkan budaya yang ada. Justru agama harus dapat melahirkan kekuatan baru untuk membangun kesejahteraan masyarakat. Contoh : wayang kulit. Sebelum ada agama Hindu dan Budha, di Jawa sudah ada wayang kulit. Oleh tokoh masyarakat Jawa Hindu dan Budha wayang kulit itu telah diisi dengan cerita-cerita Hindu, tapi dengan sisipan tokoh-tokoh Jawa seperti SemarBagongGarengPetrukBilung, dan lain-lainnya. Dalam cerita itu, keluarga semar merupakan tim penasihat bagi Pandawa.

Dalam pentas wayang kulit, salah satu tokoh wali sanga yaituSunan Kali Jaga melakukan kreasi baru dalam cerita sebagai alat menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Induk cerita tetap dari India, yaitu baik yang berasal dari kisah Ramayana maupun Mahabharata, tetapi makna kisah itu lah yang telah di Islamkan. Contoh : Pendawa yang beranggotakan lima orang dan penegak kebenaran itu diangkat oleh Sunan sebagai lambang “rukun Islam” yang lima. Dharmakusuma sebagai putra Pandu yang pertama diberi jimat yang disebut kalimasada alias kalimat syahadat. Bima yang selalu berdiri tegak dan kokoh dilambangkan sebagai rukun Islam yang kedua, yaitu sholat. Arjuna yang senang bertapa dilambangkan sebagai puasa, sedangkan Nakula dan Sadewa sebagai lambang zakat dan haji.

Wayang kulit digunakan sebagai sarana untuk berdakwah olehSunan Kali Jaga. Dengan menghormati budaya Sunan Kali Jaga berhasil mengajak orang Jawa untuk memeluk Islam. Cukuplah dengan melalui budaya itu sendiri jalan berdakwahSunan Kali Jaga berhasil mengajak orang untuk memeluk gama Islam.


B.     B. SETYA WACANA
          Memegang teguh ucapannya. Satu kata dan perbuatan. Apa yag diperbuat sesuai dengan yang dikatakan.

     Sebagai manusia kita bukan hanya menghindari perbuatan bohong, melainkan kita harus setya wacana. Kita harus bertanggung jawab dengan apa yang kita ucapkan. Bukan pagi kita bicara A dan sore kita bicara B. Bukan sekadar sebagai pemanis untuk menarik hati orang. Inilah cara membangun kepercayaan.

     Rusaknya kehidupan dalam masyarakat dan Negara karena banyaknya pejabat yang berbicara tidak sesuai dengan perbuatannya. Zaman sekarang ini tampaknya kita kesulitan mencari pemimpi yang setya wacana. Pemimpin yang sekata perbuatan dan ucapannya

     Banyak orang yang pandai bicara, tetapi tidak pandai bekerja. Udah bicaranya, tetapi sulit melakukannya. Memang kita perlu proses pembelajaran untuk menyatukan kata dan perbuatan. Lebih-lebih untuk menghadapi persaingan global dewasa ini

     Dengan mengatasi permasalahan yang kecil; dimulai dari diri kita sendiri dan lingkungan keluarga inti, kita dapat mengatasi keterpurukan yang terjadi di lingkungkunan sekitar kita. Bila hal ini disadari bagi setiap insan manusia maka akan berdampak baik untuk kehidupan berbangsa dan bernegara.


C.    C. SETYA SEMAYA

     Dalam kehidupan ini kita harus senantiasa menempati janji. Janji merupakan uapan kesediaan atau kesanggupan untuk memberikan sesuatu. Dalam bahasa hadist, janji merupakan hutang, karena itu janji harus dipenuhi.

     Setya semaya merupakan moral yang luhur. Menepati janji merupakan salah satu ciri orang beriman. Karena itu mengingkarinya disebut munafik. Setya semaya atau menepati janji merupakan landasan yang kokoh untuk membangun bangsa dan Negara.


D.    D. SETYA LAKSANA

     Dalam kehidupan ini kita harus bertanggung jawab terhadap tugas yang kita pikul. Seorang pemimpin harus disertai dengan memenuhi kewajiban melaksanakan tugasnya sebaik-baiknya, ada tanggung jawab terhadap apa yang dikerjakannya. Baik sebagai seorang pemimpin di dalam rumah tangga, lingkungan, umat, dan petugas Negara.

     Tanggung jawab memang bukan perkara ringan. Ini perkara berat. Lebih-lebih tanggung jawab dalam membangun Negara. Tentu amat berat ! Untuk dapat memenuhi setya laksana. Seorang pemimpin  tidak saja bertanggung jawab, tetapi juga harus mampu menjelaskan tindakan-tindakan yang diambilnya, alias accountable.


E.     E. SETYA MITRA

     Dalam kehidupan ini yang harus dibangun adalah persahabatan dan kesetiakawanan. Dalam bahasa modern sekarang ini kita bangun dalam kehidupan social adalah partnership atau kemitraan.

     Namanya setya mitra, maka jika kita perlu hidup prihatin, yang harus memberi contoh adalah pihak yang memimpin. Sulit rasanya bila kita diperintah untuk mengencangkan ikat pinggang, bila pemimpinnya dalam suasana hidup mewah.

     Setia kawan tidak bisa dibuat dengan basa-basi. Setia kawan harus diwujudkan secara sungguh-sungguh. Karena setia kawan atau setya mitra merupakan wujud dari nasionalisme yang sebenarnya.