Selasa, 21 Mei 2013

JANGAN MENYEMBAH BILA KITA TIDAK TAHU SIAPA YANG KITA SEMBAH


Dari asal-usulnya agama-agama yang tumbuh di Jawa itu memang wujud dari sinkretisme. Dikarena agama yang diterima di Jawa ini berasal dari luar tanah Jawa, bukan agama asli yang muncul dari tanah Nusantara. Berbagai agama itu disaring terlebih dahulu dan dipadukan dengan unsur-unsur budaya lokal. Jadi kalau yang beragama Hindu, tidak sama seperti yang di India. Demikian pula untuk Buddha, Islam, Kristen. Semua agama itu diterima, dan di rekatkan dengan unsur-unsur budaya lokal Jawa. Bagi orang Jawa itu semua merupakan cara untuk menghayati agamanya masing-masing.


ISLAM SANTRI DAN ISLAM ABANGAN

Di Jawa dikenal dengan Islam santri dan abangan. Sebenarnya ungkapan ini tidak popular bagi orang Jawa sendiri. Yang mempopulerkan istilah ini adalah penjajah, dan hal ini dilakukan untuk mengadu domba orang-orang Jawa dengan mempertajam perbedaan dalam pengamalan ibadah.

Mereka yang menjalani ritual Islam yang normative disebut sebagai santri. Sedangkan yang tidak menjalankan shalat dan ritual lainnya disebut Islam abangan. Lalu penjajah mencari-cari  lagi istilah untuk mempertentangkan keduanya, yaitu yang santri disebut mutihan, putih. Ini untuk membedakan Islam yag abang, merah. Ada lagi yang menerjemahkan mutihan dari muti’an, orang Islam yang taat

Sementara Islam abangan dari kata “aba’an”, yaitu orang Islam yang mbalela, menolak syariat. Ini semua merupakan siasat penjajah untuk mengadu domba. Padahal, orang Jawa sendiri tidak mempertentangkan kedua hal tersebut. Semua berjalan secara harmonis. Bertemu dalam keselamatan.



SEMBAHYANG DAN SALAT

Dalam khazanah Islam Jawa, ibadah sholat disebut dengan “sembahyang”. Kata sembahyang sendiri belum ada di Kamus Jawa Kuno. Bahkan tidak ditentukan dalam bahasa Kawi yang berkembang di Jawa pada abad XIV-XV. Tampaknya kata ini berkembang di Jawa setelah Islam diterima sebagai agama raja-raja Jawa.

Kata “sembah” dan “hyang” memang ada di dalam kosa kata Jawa Kuna. Sembah berarti menghormati, tunduk, atau memohon, sedangkan kata “hyang” artinya dewa atau dewata. Dengan demikian, kata sembahyang merupakan paduan kata samba dan hyang, yang artinya penyembahan kepada Dewa atau Tuhan.

Kata salat sendiri merupakan serapan utuh dari “shalat” yang ada di dalam Islam. Kata ini gencar diperkenalkan kepada masyarakat pada zaman Indonesia pasca kemerdekaan. Yang jelas bagi orang Jawa masih lazim menyebut sembahyang lebih luas pemakaiannya daripada kata salat, dan hal ini sudah menjadi identik. Hanya, kata sembahyang lebih luas pemakaiannya daripada kata salat. Karena kata sembahyang bisa dikenakan bagi mereka yang beragama apa saja, sedangkan kata salat hanya untuk orang Islam.

“Orang yang unggul adalah orang yang mampu memahami dan menghayati kesejatian salat. Bukan orang yang tidak pernah absen mengerjakan salat lima kali sehari yang unggul, melainkan orang yang memahami dan menghayati hakikat dari salat, sembah dan pujian”.
(Sunan Bonang)

Ajaran agama Islam mewajibkan umatnya untuk menjalankan salat  wajib lima kali sehari, dan hal ini diperintahkan dalam Al-Qur’an. Menegakkan salat tidak sama dengan mengerjakan salat. Juga tidak sama dengan mempelajari dalil-daiil salat

Mengerjakan salat lebih berkonotasi menjalankan upacara lahiriah. Yang dikehendaki Al-Qur’an tentu saja tidak demikian. Kata kerja yang digunakan untuk menyatakan salat adalah agama. Arti agama adalah menegakkan sesuatu dalam arti yang sebenarnya, sedangkan arti “sholat”” sendiri adalah permohonan atau doa.

Dalam sholat terkandung tindakan “washala”, yaitu menyatukan diri dengan Tuhan. Jadi, termasuk dalam penegakan sholat adalah menegakkan substansi atau semangat dari sholat. Itulah sebabnya kata mendirikan sholat ada yang memahaminya sebagai ”menegakkan agama”. Dan hal ini lebih kena dikaitkan dengan ketakwaan.

Dalam surat Al-Nisa (4) : 43 disebutkan bahwa dalam sholat setip kata yang diucapkan harus dimengerti. Dan sholat harus dilakukan dalam keadaan sadar sepenuhnya.

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendekati sholat ketika kalian dalam keadaan mabuk hingga kalian mengerti apa yang kalian ucapkan; dan juga jangan dalam keadaan junub.” ( QS. Al-Nisa (4) : 43)

Bila firman Tuhan yang diatas dipahami secara literal, secara harfiah, maka hanya orang yang mengerti bahasa Arab saja yang diwajibkan sholat. Nah, jika sholat itu wajib ditegakkan oleh setiap orang yang beriman, rangkaian kalimat “mabuk hingga mengetahui apa yang diucapkan” harus dipahami sebagai keadaan sadar sepenuhnya. Dalam keadaan inilah orang mengerti kepada siapa dia melakukan penyembahan.

Tanpa mengetahui siapa yang disembah, jelas itu hanya pekerjaan sia-sia. Disebut sebagai orang yang menyembah sesuatu yang tidak ada. Tidak ada objeknya. Tiada tujuan. Dan hanya orang bodoh yang mau melakukan pekerjaan yang sia-sia. Hal semacam inilah yang disebut sebagai orang yang direndahkan martabat hidupnya. Membuang sesuatu yang berharga demi mengejar suatu impian yang tidak ada nyatanya.

Sholat atau penyembahan yang berguna itu, tentu saja sholat yang dapat mencegah terjadinya tindakan “fakhsya” dan “munkar

“Bacakanlah apa yang telah diwahyukan kepadamu dari kitab Al-Qur’an dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah perbuatan keji dan munkar. Dan sesungguhya merenungkan Karunia Allah itu sangat besar artinya dalam hidup ini. Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.”  (QS. Al-Ankabut (29) : 45)

Dengan ayat ini, sebenarnya yang harus menjadi perhatian diri kita sebagai umat muslim dan ulama Islam adalah hakikat atau tujuan shalat.

Realita yang terjadi ditengah masyarakat, kita selalu disibukan untuk memperhatikan orang yang mengerjakan shalat. Akhirnya, timbullah perasaan negative terhadap orang yang tidak mengerjakan sholat. Kita lebih tertarik ke sangkarnya daripada burungnya. Kita lebih terpesona kulit daripada isinya Kebanyakan ulama tidak mengupas realitas shalat. Hasil konkret dari penegakan shalat. Justru kita lebih sibuk mengawasi pelaksanaan shalat seseorang.


KEJI DAN MUNKAR

Perbuatan keji adalah perbuatan hina, dan menjijikan. Tergolong dalam perbuatan keji adalah perbuatan hati seperti iri dengki, dendam dan sejenisnya.

Perbuatan munkar adalah perbuatan yang nyata-nyata ditolak oleh masyarakat, seperti kezaliman, perjudian, mabuk-mabukan, pelacuran, korupsi, percanduan, dan sejenisnya. Jadi, bila orang benar-benar menegakkan sholat, niscaya tidak akan ada lagi KKN, perselingkuhan, pengkhianatan dan lain sebagainya.

Meskipun dari pemimpin kepala rumah tangga hingga penggede negeri ini tidak pernah ke masjid atau musholah, tapi kalau mereka menegakkan shalat niscaya kita akan mendapatkan suasana kehidupan dalam ruah tangga, lingkungan, pemerintah yang tenang dan bersih. Tentu saja akan  lebih baik jika para pemimpin kepala rumah tangga hingga penggede pemerintah ini rajin ke masjid dan menegakkan shalat.

Dalam segala sesuatu itu ada bukti yang menunjukan bahwa Allah itu Maha Esa
Jika yang menghidupkan, yang mematikan, dan yang memberi rezeki itu adalah Allah
Jika setiap kata yang keluar dari mulut kita merupakan doa
Mengapa kita harus terperangkap dalam kondisi kehidupan seperti sekarang ini ???

Tidak ada komentar:

Posting Komentar