Rabu, 07 Desember 2011


Politik Tak Harus Kotor



Judul : Berfilsafat Politik
Penulis : Prof. Dr. E. Armada Riyanto, CM
Penerbit : Kanisius, Yogyakarta
Tahun : I, Agustus 2011
Tebal : 216 halaman
Ada ungkapan yang tidak asing terdengar, yang menyebutkan bahwa “politik itu kotor”. Ungkapan ini jangan buru-buru diterima begitu saja. Harus dilihat terlebih dahulu hakikat dari politik (politik ideal) dan kenyataan atau fakta politik.
Antara hakikat politik dengan kenyataan politik memang sering kali tidak sinkron, bahkan bertolak belakang. Politik menjadi kotor karena tidak mengikuti atau mematuhi politik ideal yang dibangun berdasarkan pemikiran-pemikiran filosofis atau filsafat politik.
Setidaknya ada empat hal dalam politik yang menyimpang dari politik ideal. Pertama, mengabaikan kepentingan umum. Kedua, mengedepankan kepentingan pribadi dan golongan. Ketiga, semata-mata mengejar profit dan mendapatkan kekuasaan kemudian mempertahankannya sekuat tenaga.
Keempat, menghalalkan segala cara, hingga melanggar etika-etika politik dan hukum serta norma-norma lain yang berlaku. Politik kemudian menjadi liar, dipraktikkan secara membabi-buta. Bukan kebenaran dan tujuan utama politik yang dikejar, tapi kepentingan pribadi dan golongan.
Buku karya E Armada Riyanto ini ingin mengingatkan kita semua, terutama para pelaku politik praktis, untuk mencermati perilaku politik mereka. Sudahkan praktik-praktik politik itu dibasiskan atau disandarkan pada filsafat politik? Sudahkah prinsip-prinsip politik yang pada hakikatnya bertujuan mulia, yakni untuk mengatur dan mengorganisasi suatu masyarakat demi terciptanya suatu masyarakat yang teratur, hidup makmur, sejahtera, dan aman sentosa? Sudahkah etika-etika politik dipegang kuat-kuat oleh para pelaku politik praktis?
Menurut Armada, berfilsafat politik atau berpolitik yang didasari oleh prinsip-prinsip filsafat politik berarti menggagas tata hidup bersama dari sudut makna yang mendalam. Inilah yang sering kali dilupakan para politikus saat ini.
Mereka memiliki dedikasi tinggi untuk mengelola partainya, memperjuangkan ideologinya, merebut kekuasaan dan mempertahankannya secara terus-menerus, tapi tidak banyak yang menjangkau kiprahnya hingga pada wilayah makna. Akibatnya, mereka terjerumus pada kenaifan politik (hlm. 13).
Mereka berpolitik pragmatis, tidak filosofis, sehingga hampa dan dangkal. Ada makna-makna terdalam dalam politik yang mestinya ditemukan, karena di situlah sesungguhnya hakikat politik atau politik ideal.
Jika makna politik dilepaskan dari filsafat, menurut Armada, politik akan mudah tercebur ke dalam konflik, persaingan, dan bahkan perang. Logika konflik adalah logika menang kalah. Dalam apa pun bentuk konflik, hidup manusia harus membayar mahal. Dalam bahasa Charles Taylor, berpolitik itu memiliki tujuan menjadikan dunia ini the enchanted world (dunia yang memesona) (hlm. 33).
Dunia politik, kata filosof Nietzsche, memang lebih dekat pada kenaifan. Machiavelli malah memasukkan politik ke dalam perkara di luar wajar etika. Politik ada dalam ranah kekuasaan. Siapa menang, berkuasa. Siapa kalah, pecundang.
Namun, menurut Armada, apabila kita menyimak Aristoteles, politik merupakan sebuah cetusan aktivitas agung dari makhluk yang bernama manusia. Politik adalah cetusan kesempurnaan kodrat sosialitas, rasionalitas sekaligus moralitas manusia. Kesempurnaan di sini adalah kesempurnaan kemanusiaan. Artinya, tidak manusiawilah manusia bila ia tidak mengintegrasikan dirinya dalam tata kelola hidup bersama. Tata kelola kebersamaan adalah keluhuran keseluruhan kodrat manusia (hlm. 15).
Memanusiawikan manusia adalah tujuan utama dari berpolitik. Para pelaku politik akan bisa mencapai tujuan itu jika ia mampu memahami secara mendalam politiknya.
Memahami politik bukanlah dengan semata-mata berpikir dan merenung saja, tapi terjun langsung ke masyarakat, melihat persoalan yang terjadi sesungguhnya, sehingga politik yang ia praktikkan akan selalu didasari pada tujuan dan kepentingan yang lebih luas, tidak sempit.
Kenyataan yang terjadi di masyarakatlah yang kemudian menjadi bahan pemikiran dan perenungan untuk membangun politik yang lebih rasional dan bermakna. Di sinilah pentingnya berfilsafat politik, agar politik tidak menjadi sia-sia, hampa makna. Sehingga pada gilirannya stigma bahwa politik itu kotor terkikis habis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar